Sabtu, 24 Januari 2009

Mengajar dengan Hati

Oleh Agus Mutohar
Pendidik, Alumnus University of South Carolina, Amerika Serikat Tinggal di Kendal, Jateng

Kekerasan di dunia pendidikan akhir-akhir ini marak terjadi. Tak hanya pertikaian antarsiswa, bahkan kekerasan dalam dunia pendidikan sering dilakukan oleh oknum guru terhadap siswa. Anehnya, beberapa guru yang melakukan tindak kekerasan terhadap siswanya berdalih demi menertibkan siswa, memberikan hukuman agar siswa tidak melakukan kesalahan lagi, dan alasan-alasan klise lain.

Jika kekerasan telah menjadi pemandangan biasa dalam dunia pendidikan, tak mengherankan jika banyak siswa pun melakukan tindakan yang sama dalam pengambilan keputusan terhadap masalah- masalah yang mereka hadapi. Mereka sering melakukan tawuran dan aksi- aksi kekerasan lain di lingkungan sekolah.

Mendidik dan mengajar memang bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena, seorang guru dituntut untuk bisa membantu siswa memahami sebuah materi dan mengawal mereka dalam pencapaian jati diri yang luhur.

Pendewaan terhadap aspek intelektual anak didik dalam dunia pendidikan Indonesia pun telah banyak mengabaikan perkembangan kepribadian siswa. Banyak guru yang beranggapan bahwa target tanggung jawab mereka adalah menyelesaikan sebuah materi pelajaran.

Idealnya menjadi guru memang bukan sekadar melakukan pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spiritual. Cita-cita tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Pemandangan seperti kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan akan berkurang jika banyak guru memahami hakikat pendidikan seperti yang tersirat dalam amanat undang-undang tersebut.

Guru adalah ujung tombak pendidikan. Pada seorang guru siswa menggantungkan sejuta harapan agar menjadi pribadi cerdas dan berkepribadian luhur kelak. Sebagai ujung tombak, tentu kita sangat berharap kepada peran guru dan kharismanya di hadapan siswa.

Metode klasik
Fakta di lapangan membuktikan masih banyak guru-guru yang tidak menguasai ilmu keguruan. Mereka hanya mengajarkan materi yang berbasis pada peningkatan intelektual. Itu pun dengan metode-metode yang klasik.

Pada situasi ini, murid sering kali menuai kebosanan dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dr Haryono dalam seminar mencari format pendidikan berkualitas di Jawa Tengah mengatakan bahwa sekitar 5 persen peserta didik pada kelas akselerasi menghadapi kebosanan dengan pelajaran yang ada. Pendidikan yang seperti ini justru menimbulkan teror bagi siswa.

Landasan filosofis dan sosial budaya Indonesia memosisikan fungsi dan peran guru sebagai pengajar dan pendidik. Mereka dituntut tidak hanya sebagai pengajar yang harus mampu mengajarkan materi- materi pelajaran, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Guru sering dianggap sebagai orang kedua, setelah orangtua anak didik dalam proses pendidikan.

Untuk bisa melaksanakan dwi fungsi sebagai pengajar dan pendidik, guru harus mempunyai perubahan paradigma dalam proses belajar mengajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekadar sebagai obyek pembelajaran, tetapi harus berperan dan diperankan sebagai subyek. Seorang guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memosisikan dirinya lebih tinggi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator dan konselor yang bersifat saling melengkapi.

Dalam lingkup ini, guru dituntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif, dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian, proses belajar mengajar akan menghargai anak didik, bukan menempatkan mereka sebagai botol yang dijejali guru dengan segudang pengetahuan.

Selain itu, dalam menghadapi masalah selama proses pembelajaran hendaknya guru mampu mengajarkan penyelesaian masalah secara interdisipliner melalui pendekatan intelegensia (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ).

Guru yang mampu mengelola kelas dengan kombinasi mengajar dan mendidik akan menghasilkan generasi yang kreatif dan berbudi luhur karena mereka mampu mengenali potensi dan lingkungan mereka.

Memutuskan diri menjadi seorang guru adalah panggilan hidup, sekaligus meyakinkan diri bahwa setiap tutur kata dan tindakan seorang guru adalah upaya mengantarkan sebuah peradaban menjadi lebih baik.

Mereka yang siap menjadi guru juga harus siap dengan 1.001 permasalahan di kelas yang terkadang sangat melelahkan. Mulai dari kegaduhan siswa, ketidakpatuhan siswa, bahasa siswa yang tidak sopan, dan lainnya. Oleh karena itu, dalam menjalankan pekerjaannya membutuhkan kesabaran, ketulusan, dan dedikasinya dalam membimbing para siswanya untuk menjadi manusia yang cerdas, berkualitas baik pengetahuan, dan berbudi luhur.

Dalam bahasa Paulo Freire pendidikan adalah act of love. Dia mengatakan bahwa rasa cinta merupakan syarat utama mengajar. Cinta yang bersumber dari hati akan memicu totalitas seorang guru dalam mengajar.

Selain itu, Parker Palmer dalam bukunya The Courage to Teach menjelaskan bahwa menjadi guru bukan sekadar melakukan pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spiritual.

Guru-guru di Indonesia yang sedang dianakemaskan pemerintah lewat program-program seperti sertifikasi hendaknya mampu menempatkan tugas mulia mereka sebagai pekerjaan yang melibatkan hati dengan penuh perhatian terhadap fenomena yang terjadi di sekolah.

Potret guru seperti yang dijelaskan oleh Freire dan Palmer inilah yang akan membawa generasi Indonesia menuju pada gerbang sumber daya yang unggul, ditandai dengan intelektualitas dan kepribadian unggul. Semoga!

[Forum, Kompas Jateng 24 Januari 2009]

0 komentar: