Senin, 04 Oktober 2010

Mempertahankan Ikon Kota Ukir

Suara Merdeka, 04 Oktober 2010

Oleh Suhardiman

INDUSTRI mebel (furnitur) dan ukir kayu merupakan ikon kota Jepara, yang kemudian menghadirkan jati diri Jepara Kota Ukir. Salah satu tonggak pencapaian pasar internasional dalam industri ini adalah ketika RA Kartini memperkenalkan produk perajin binaannya kepada kawan-kawannya di berbagai kota di Indonesia, termasuk di Belanda.

Kedua industri itu tersebar di beberapa wilayah di Jepara. Tahun 2008 produk dua industri itu telah dipasarkan di 110 negara tujuan oleh 248 perusahaan, baik PMDN maupun PMA. Jumlah usaha yang eksis 3.821 unit, menyerap 50.668 tenaga kerja. Nilai produksinya mencapai Rp 1,2 triliun, dengan investasi Rp 164 miliar lebih.

Kunjungan mantan ketua Hipmi Sandiaga S Uno pada 8 Juli lalu memberi angin segar kepada pengusaha mebel di Jepara, terlebih pengusaha muda. Sandiaga memberi semangat dan apresiasi atas bangkitnya kembali industri mebel. Sejak krisis ekonomi tahun 1998, industri mebel ukir di Jepara mengalami penurunan permintaan. Pasar ekspor anjlok.

Saat ini meski usaha tersebut sudah mulai menggeliat kembali, ada beberapa kendala yang belum terpecahkan. Misalnnya kurangnya bahan baku, sistem pemasaran secara internal, dan persaingan harga yang tak sehat antarpengusaha.

Problem lain adalah terancamnya produk ukir lokal karena diklaim pihak asing. Hak cipta dan desain produk pigura cermin (mirror frame), aksesoris, dan mebel bermotifkan ukiran diklaim oleh salah satu pengusaha asing asal Inggris, Christopher Guy Harrison, tepatnya pada 2005.

Pasal 10 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa,’’Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya”.

Berdasarkan UU itu, negara sebagai pemegang hak cipta berkewajiban mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak hasil kebudayaan bangsa Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang menjiplak atau mengklaim hasil kebudayaan kita.

Langkah LSM Collaboration of Ecology and Centre Information to Us (Celcius) yang menggelar acara Jagong Budaya di Jepara pada 5 Agustus lalu, merupakan wujud sosialisasi dan desakan kepada pemerintah agar lebih memperhatikan mebel ukir sebagai karya orisinil budaya masyarakat.

Desain ukir Jepara merupakan karya anak bangsa yang harus dilindungi, dan pihak asing manapun tidak boleh menjiplak untuk kepentingan apapun. Meskipun Mei lalu Pemkab telah mengajukan HAKI kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atas 99 produk asli Jepara, usaha sejenis perlu terus ditingkatkan dan didukung.

Lebih Serius Bisa jadi, masih ada hasil karya budaya asli Jepara yang belum terinventarisasi. Pemkab dan masyarakat tentu tidak ingin kecolongan untuk kali kedua. Itu sebabnya, pengakuan HAKI ini sangat penting guna mendapatkan hak paten.

Masyarakat jangan berhenti pada tataran kepuasan sesaat atas berbagai karya yang telah dihasilkan.
Sikap mempertahankan, menjaga, dan mengembangkan budaya daerah, jauh lebih penting dilakukan. Ketika masyarakat, terutama generasi muda, lupa pada budaya lokal, tidak menutup kemungkinan kasus klaim atas produk asli milik kita bisa terulang kembali.

Untuk makin memperkokoh kiprah ukiran Jepara ke depan, perlu perhatian lebih serius dari pemerintah, mulai pengadaan bahan baku, permodalan hingga pemasaran dan promosi. Semakin sedikitnya pasokan kayu jati (bahan baku andalan ukiran Jepara) serta informasi peluang akses pasar baru membuat produsen harus melakukan antisipasi.

Untuk bahan baku, selain kayu jati, perajin juga mesti mencari bahan baku alternatif seperti kayu meranti, mahoni, dan lain-lain. Selain itu, produsen dan pengusaha ukiran Jepara perlu lebih aktif mencari informasi tentang pameran-pameran dan media ajang promosi lainnya, baik di dalam maupun luar negeri.

Langkah Manipin Gersang, pemilik PT Gabe International, perusahaan furnitur yang menjaring pembeli dari berbagai negara lewat internet bisa dijadikan contoh. Eksportir juga bisa menerapkan sistem pemasaran on line dengan memanfaatkan jaringan global melalui alibaba.com yang dihadirkan oleh Jepara Trade and Tourism Center (JTTC).

Senin, 16 Agustus 2010

Tantangan Perajin Kain Troso

Suara Merdeka, 16 Agustus 2010

Oleh
Manshur Shofi

SEBULAN lewat Gubernur Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mengampanyekan penggunaan seragam tenun lurik troso, untuk pakaian kerja PNS se-Jateng, khusus hari Rabu.

Imbasnya langsung terasa, denyut perajin kembali bergairah. Banjir order, permintaan mendadak datang tak terkira. Khusus Sabtu dan Minggu, pemandangan mirip showroom terlihat di jalan-jalan di Desa Troso. Sejumlah mobil berpelat luar kota berderet di jalan desa sentra produksi tenun lurik khas itu.

Troso berlokasi di di jalan raya Jepara-Kudus Km 15, dengan cuaca khas pesisir yang panas. Sejarah panjang telah terlewati akan keberadaan perajin kain, yang sampai sekarang tetap teguh menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM) untuk memproduksinya. Suara khas, toklekÖtoklekÖtoklek, membius telinga sampai malam hari. Suara unik yang muncul dari gesekan kayu alat tenunnya.

Troso juga desa superjumbo, luasnya 711,5 hektare dengan jumlah penduduknya 23.000 jiwa dibagi dalam 83 RT dan 10 RW. Tapi perajin tenun lurik hanya berpusat di daerah selatan atau istilahnya, Troso Kidul. Kain (tenun lurik) troso sebenarnya tidak punya ciri khusus, bahkan secara jujur kain tersebut dibuat tergantung pesanan dan musim. Trik untuk tetap eksis dan bertahan membuat perajin mengkreasi sendiri corak dan jenisnya.

Sebut saja kain yang diberi nama jaranan karena terdapat gambar jaran (kuda) berhadap-hadapan. Istilah kain salur, atau ada yang menyebut sebagai kain antik yang tebal dan motifnya mirip buatan Nusa Tenggara Barat, lebih cocok untuk sprei, gorden, taplak meja atau jok kursi. Sementara itu, kain ikat untuk bahan baju, lebih banyak variasi bahan dan motifnya. Benang misris mendominasi dengan gambar-gambar atau corak yang simetris. Plus model songket atau doby juga diproduksi di desa itu.

Satu ‘’rahasia’’ lagi, selama puluhan tahun Bali menjadi mitra masyarakat Troso, kain ikat yang selama ini terkenal sebagai kain Bali, sebenarnya diproduksi oleh tangan-tangan kreatif warga Troso. Padahal Troso-Bali itu harus ditempuh lebih dari 20 jam perjalanan darat. Hubungan yang unik, long distance yang tak mengurangi kemesraan tapi makin saling membutuhkan.

Tapi dua kali bom Bali itu merusak tatanan kehidupan di Indonesia, dan Troso terkena imbas cukup parah karenanya kerajinan tenun mati suri.

Bagi masyarakat Troso masa suram terasa lama. Sebelum akhirnya angin segar berhembus, enam 6 tahun lalu, tatkala Pemerintah Kabupaten Jepara di bawah kepemimpinan Bupati Drs Hendro Martojo MM mewajibkan PNS Jepara memakai seragam kain troso. Kamis, Jumat, dan Sabtu, dan berlanjut sampai sekarang.

Imbasnya, muncul fenomena menarik perajin tenun troso pecah tapi dalam arti positif yakni terbentuknya tiga ‘’kubu’’ utama. Pertama, perajin yang tetap ‘’istikamah’’, masih mengandalkan Bali sebagai tujuan utama pemasaran. Kubu kedua; berkonsentrasi melayani permintaan domestik kain seragam lingkup Kabupaten Jepara.

Masa Suram
Kubu ketiga; memasok sentra-sentra batik, seperti Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta. Jenis kain yang diproduksi dalam bentuk polosan atau putihan, dari sutera, serat kayu, dan serat nanas. Media kain yang siap untuk dibatik ini proses pembuatnya lebih cepat dan tidak rumit dibandingkan dengan kain ikat atau lurik.
Dua kubu yang disebut di depan, yaitu perajin kain troso yang fokus ke Bali dan daerah sentra batik, sekarang mengalami

masa suram. Tidak ada keseimbangan antara harga bahan baku yang selalu naik dan harga jual kain yang stagnan. Hal itu diperparah dengan perilaku beberapa perajin yang berlomba banting harga dan tidak menjaga kualitas.

Kini tinggal satu kubu yang kuat bertahan, dan sekarang mendapat angin segar babak kedua lewat kebijakan Gubernur Jawa Tengah yang mengampanyekan penggunaan seragam tenun lurik troso, untuk pakaian kerja PNS khusus hari Rabu. Hadiah besar bagi masyarakat Troso menjelang Idul Fitri, kain lurik sebagai produk-produk lokal menjadi kebanggaan, dan terpenting dapat menghidupkan perekonomian warga.

Perajin tenun lurik wajib meningkatkan kualitas tanpa mengorbankan nilai seni sebagai warisan budaya lokal, tidak terjebak pada pakem tapi harus kreatif dan kaya inovasi dengan mengombinasikan warna, corak, dan desain. Hal itu supaya produknya nyaman dipakai dan cocok dipakai dalam berbagai kesempatan dan oleh berbagai golongan. (10)

Kamis, 05 Agustus 2010

Kemasan Modern Pesta Baratan

Suara Merdeka, 05 Agustus 2010

Oleh Mulyono

SALAH satu potensi wisata budaya Jepara adalah tradisi Baratan, yang dilaksanakan tiap tanggal 15 Sya’ban kalender Hijriah atau 15 Ruwah kalender Jawa yang bertepatan dengan malam Nishfu Sya’ban. Kata Baratan berasal dari sebuah kata bahasa Arab, yaitu baraah yang berarti keselamatan atau barakah yang berarti keberkahan. Baratan adalah salah satu tradisi masyarakat Jepara yang konon berakar dari zaman pemerintahan Ratu Kalinyamat.

Ketika itu, suami Ratu Kalinyamat (Retno Kencono) yaitu Sultan Hadirin (Sayyid Abdurrahman Ar Rumi) berperang melawan Arya Penangsang dan terluka. Kemudian Ratu Kalinyamat membawanya pulang ke Jepara dengan dikawal prajurit dan dayang-dayang. Peristiwa itu berlangsung malam hari, sehingga masyarakat di sepanjang jalan yang ingin menyaksikan dan menyambut rombongan Ratu Kalinyamat harus membawa alat penerangan berupa obor.

Cerita tersebut adalah salah satu versi asal muasal Baratan, yang salah satunya tradisinya adalah penyalaan obor, lampu minyak, dan lampion pada malam hari. Tradisi tersebut masih bertahan hingga kini pada masyarakat di Kecamatan Kalinyamatan, Mayong, dan Pecangaan. Tradisi Baratan merupakan salah satu tradisi di Jepara selain tradisi perang obor di Tegal Sambi yang bisa dikembangkan menjadi potensi wisata.

Baratan dalam ingatan masa kecil penulis adalah salah satu hari raya yang penulis kenal, sewaktu kecil masyarakat Mayong menyebutnya badha Beratan. Saat itu belum tiap rumah tangga memiliki listrik. Sejak sore hari, tiap rumah mempersiapkan lampu-lampu minyak yang terbuat dari tanah liat, yang disebut umplung atau empluk.

Lampu tersebut dibeli dari perajin gerabah yang memang menjadi mayoritas mata pencaharian masyarakat Desa Mayong Lor waktu itu. Lampu diletakkan berjajar di teras rumah dan di pagar halaman. Lampu-lampu lampion impes digantung di teras rumah. Impes adalah lampion berbentuk silinder dan berkerut, masyarakat menyebutnya impes karena bisa kempes atau mimpes dan dilipat.

Pada malam Baratan, anak laki-laki selepas shalat isya berkumpul di mushala atau masjid terdekat untuk kenduri, membawa makanan yang disebut puli (sejenis gendar). Kata puli konon berasal dari bahasa Arab yaitu afwu lii, yang berarti maafkanlah aku.
Ditunggu-tunggu Puli terbuat dari bahan beras, ketan dan bleng yang dikukus kemudian ditumbuk halus dan dimakan dengan kelapa parut yang dibakar atau tanpa dibakar. Para ibu saling berkirim puli buatannya.

Setelah itu dengan berkelompok anak laki-laki berkeliling kampung menarik mobil-mobilannya yang telah diberi lilin menyala di dalamnya, sedangkan anak perempuan ikut berkeliling membawa impes dengan meneriakan yel-yel ritmis. Anak-anak berkeliling sampai larut malam. Saat itu malam Baratan adalah salah satu malam yang paling ditunggu-tunggu anak-anak.

Saat ini berpuluh tahun berselang, malam sudah terang benderang oleh listrik, keramaian dan aura tradisi tersebut banyak terkikis. Saat ini tradisi masih menyisakan mobil-mobilan kertas yang dulu sangat sederhana sekarang sedemikan bagus, namun bukan untuk ditarik keliling kampung.

Upaya untuk menghidupkan tradisi tersebut telah dilakukan oleh elemen masyarakat dengan dukungan Pemkab Jepara. Salah satunya adalah pawai lampion di Kecamatan Kalinyamatan. Beberapa tahun lalu, pawai ini masuk dalam catatan Muri sebagai pawai dengan pembawa lampion terbanyak, lebih dari 3.500 orang.

Tahun ini Pesta Baratan kembali digelar oleh Lembayung Production bekerja sama dengan Pemkab, ormas, dan perusahaan swasta berpusat di Kecamatan Kalinyamatan. Di facebook pun telah dibuat akun ’’Pesta Baratan’’ untuk lebih menyosialisasikan lewat dunia maya.

Menurut penulis, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pada tahun-tahun mendatang dalam rangka lebih mengembangkan potensi. Pertama; memperluas skala kegiatan, dengan mengundang daerah lain atau perusahaan besar untuk berpartisipasi, misalnya mengadakan lomba dan pawai mobil lampu hias.

Kedua; meningkatkan promosi sehingga lebih banyak orang yang tahu dan berpartisipasi. Ketiga; mengemas acara lebih menarik sehingga wisatawan dapat menikmati dengan nyaman. Kempat; persiapan yang lebih profesional sehingga acara dapat berlangsung lebih baik, dan lebih ’’menjual’’. (10)

Rabu, 14 Juli 2010

Kelanjutan Kampung Teknologi Jepara

Suara Merdeka, 14 Juli 2010

Oleh M Abdullah Badri

Sifat teknologi yang praktis, mudah, cepat dan efektif membuat warga Suwawal Timur mampu meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonominya

ADA titik terang di Jepara. Kabupaten di wilayah pantura Jateng yang juga dikenal dengan sebutan Kota Ukir sekarang dibicarakan sekolompok orang karena di daerah itu ada kampung teknologi. Jangan membayangkan kampung itu laiknya kota yang ada gedung pencakar langitnya dan mesin-mesin otomatis yang bekerja sendiri seperti dalam film futuristik rekaan Hollywood. Namanya juga kampung, jadi aroma naturalnya tetap terjaga dengan baik.

Suwawal, tepatnya Suwawal Timur, Kecamatan Pakis Aji, adalah desa yang diproyeksikan Pemerintah Kabupaten Pemkab) Jepara sebagai kampung masa depan berbasis teknologi dengan nilai investasi Rp 247,9 miliar. Dengan menggandeng Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), Pemkab hendak menjadikan kampung seluas 110 hektare itu sebagai pusat pemberdayaan masyarakat desa dalam bidang pertanian, industri pengolahan, pariwisata, dan pendidikan berbasis teknologi (Kompas, 09/07).

Jika sebelumnya warga kampung meminjam sapi jantan tetangga untuk membuat sapi betinanya hamil, dengan dikawinkan, kini, sejak teknologi peternakan dikembangkan di sana, kini mereka hanya perlu menyuntikkan cairan khusus (semen, mani beku-Red) ke sapi betina. Tanpa kawin, tak lama lagi sapi itu akan hamil.

Warga kampung teknologi tersebut kini juga sudah bisa memaksimalkan lahan tanah yang dulu dibiarkan tidak produktif. Dengan penyuluhan, pendampingan dan praktik langsung, tanah tandus sekarang bisa ditanami aneka tanaman. Tanaman yang untuk sementara sudah diberdayakan adalah kacang tanah. Semua dilakukan berkat proyeksi sebagai kampung teknologi.

Selain memberdayakan, warga kampung teknologi juga diharapkan bisa mendayagunakan hasil tanaman dan olahannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari agar hasil panenan tanaman dan ternaknya bisa dijual layak dengan harga yang menguntungkan. Berkat pembangunan jaringan sosial yang berjalan, petani kampung teknologi itu kini bisa menjual hasil jerih payahnya kepada beberapa perusahaan yang telah komitmen dan bekerjasama membeli hasil tanaman mereka.

Untuk tanaman kacang, PT Garudafood Pati telah berbaik hati bersedia pasti membeli hasil tanaman kacang dari Suwawal, sekaligus memberikan benih kacang organik itu untuk ditanam. Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta juga telah diminta komitmennya meningkatkan kualitas kacang tanah dari petani dengan penyediaan oven pengering berbahan gas atau batu bara. Dengan alat teknologi itu, petani tak perlu menjemur kacang di jalan raya atau di halaman rumah.

Berkah Tersendiri
Warga kampung teknologi Jepara telah menemukan kemudahan-kemudahan operasional kerja bertani dan beternak. Selain penggemukan sapi dan penanaman kacang organik secara teknologis, program pemberdayaan yang sudah berjalan sementara ini seperti dinyatakan oleh pengelola utamanya, Imam Chanafi, adalah pembuatan pupuk dari kotoran dan air seni kambing. Sifat teknologi yang praktis, mudah, cepat dan efektif telah membuat warga Suwawal Timur mampu meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Ini merupakan berkah tersendiri yang harus terus ditingkatkan.

Yang menjadikan gelisah adalah bagaimana kalau kampung teknologi itu tidak mampu bertahan lama? Belum adanya sekolah khusus berbasis teknologi pertanian dan peternakan di Jepara menjadi problem tersendiri terhadap eksistensi kampung teknologi. Warga kampung teknologi itu bisa jadi hanya akan ’’diperas’’ tenaganya oleh perusahaan yang membutuhkan hasil tanamannya.

Karena itulah, untuk menjaga keberlanjutan pembangunan kampung teknologi, Pemkab hendaknya juga mengirimkan putra daerahnya ke perguruan tinggi yang komitmen terhadap eksistensi kampung teknologi, untuk belajar sains dan ilmu pengetahuan. Kontraknya, setelah lulus dia mau membangun kampung itu lebih lanjut.

Atau, akan lebih baik jika punya sekolah berbasis pendidikan teknologi sendiri sebagaimana STM khusus ukir yang sudah ada. Ini akan lebih baik mengingat kampung teknologi itu ke depan diproyeksikan dalam bidang yang lebih luas, yakni agrotechnopark, ecopark, dan technopark.

Petani-petani jangan hanya di-wulang bagaimana cara menanam dan beternak hewan dengan baik. Mereka juga harus dirangsang secara inovatif agar muncul kreasi baru. Jika hal ini dapat dilakukan, kampung teknologi akan bisa bertahan dengan kaki sendiri, tanpa tergantung dengan unsur luar, nantinya. (10)

Rabu, 30 Juni 2010

Memakmurkan Taman Baca Jepara

Suara Merdeka, 30 Juni 2010

Oleh Syaiful Mustaqim

BANYAK cara dan upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Jepara melalui perpustakaan daerah dalam rangka meningkatkan minat baca. Salah satunya dengan mendirikan dan mengelola taman baca. Bahkan Bupati Hendro Martojo pada akhir Desember 2009 meresmikan Taman Baca Bukit Asri di Demaan Jepara.

Taman baca itu untuk sementara waktu menempati Rumah Aman, yaitu sekretariat KDRT: Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana. Rencananya pada tahun ini dibangun perpustakaan permanen di dekat bangunan itu. Adapun berkaitan dengan referensi (buku rujukan), saat ini taman baca itu sudah dilengkapi 450 buku ditambah 20 alat peraga edukatif (APE).

Selain taman cara tersebut, beberapa cara dan upaya yang telah dilakukan perpustakaan daerah adalah menyediakan fasilitas bacaan di tempat umum yakni dua warung baca yang menyediakan buku bacaan dan koran harian. Pun papan baca berupa koran dinding, terletak di terminal kota dan di pojok taman selatan alun-alun kota serta rumah baca lengkap dengan arena bermain anak-anak di taman belakang kantor Perpustakaan Daerah Jalan HOS Cokroaminoto.

Tak hanya itu, satu motor pintar—melayani perpustakaan keliling di kawasan kota. Ditambah tiga mobil perpustakaan keliling (dua unit beroperasi ke sekolah-sekolah dan satu unit lagi keliling dari desa satu ke desa lain). Sehingga, sejak 2005 hingga 2009 saja di Bumi Kartini ini telah berdiri 169 perpustakaan yang tersebar di pelosok desa dan kecamatan, 31 tempat untuk perpustakaan ormas, 81 lokasi perpustakaan sekolah serta 146 perpustakakan di tempat-tempat peribadatan.

Banyaknya taman, ruang ataupun rumah baca yang tersebar di pelosok kota ini semestinya tidak hanya berhenti di situ saja—lebih dari itu, alangkah lebih afdolnya jika kantung-kantung baca yang telah ada tidak hanya difungsikan sebagai tempat membaca saja. Dengan hanya menjadikannya sebagai sarana meningkatkan minat baca masyarakat bisa mengalami kejenuhan.

Sejatinya, tempat-tempat itu bisa diperankan sebagai pusat pelbagai kegiatan berbasis massa. Menyebut massa, maka seluruh elemen yang ada di masyarakat mulai anak-anak, remaja hingga orang tua masuk kategori di dalamnya. Sehingga, kantung-kantung baca yang telah ada perlu dimaksimalkan potensinya. Kantung baca digunakan sebagai tempat kegiatan ilmiah. Agenda yang penulis maksud yakni memosisikan kantung baca untuk sarana diskusi, jumpa pembaca maupun sekadar tempat tukar ide.

Meski hanya diikuti oleh beberapa gelintir orang saja, menurut hemat penulis tidak jadi soal. Yang terpenting melalui forum yang beraura ilmiah itu—berbincang-bincang tentang tema kejeparaan, isu nasional dan terkait dunia pustaka nantinya menghasilkan wacana yang luar biasa dan bermanfaat untuk khalayak.

Berbasis Edukatif
Lambat laun ketika pengunjung yang lain sudah tahu maksud dan tujuan dari forum itu setidaknya berpartisipasi meramaikannya. Dalam fase yang lebih besar digunakan untuk bedah buku, seminar ataupun talkshow.

Bisa pula dijadikan pusat keterampilan berbasis edukatif. Semisal, keterampilan berbahasa, kesenian ataupun membaca dan menulis. Artinya, kantung baca digunakan untuk klub-klub bahasa Inggris, Prancis, Mandarin ataupun bahasa asing lain. Konkretnya untuk belajar bersama tentang bahasa asing. Untuk perihal kesenian bisa berupa seni teater, lukis maupun tari.

Sedangkan membaca dan menulis dapat diaplikasikan melalui kegiatan jurnalistik (tulis-menulis). Aktivitas tulis menulis artikel, puisi, cerpen, resensi, berita dan sebagainya. Hal itu bisa dilaksanakan sepekan sekali dan dijadwalkan sesuai dengan kesepakatan bersama.

Selain itu, sebagai arena lomba berpidato, baca puisi, lomba jurnalistik, menggambar ataupun mewarnai. Kegiatan lomba-lomba itu secara tidak langsung akan menambah kuota yang berkunjung ke kantung baca yang ada.

Upaya untuk memaksimalkan potensi taman baca yang penulis maksud adalah selain sebagai tempat yang digunakan dalam rangka meningkatkan minat baca baca juga difungsikan untuk aktivitas lain. Tentu aktivitas yang bergaung edukatif, artinya, nuansa pendidikan yang nantinya bermanfaat untuk masyarakat luas.

Keberhasilan atas gagasan butuh kerja sama semua pihak, setidaknya pemkab mendukung pendanaan. Sementara, pegiat seni, pekerja pers dan jurnalistik, akademisi serta penggila dunia pustaka juga harus berperan aktif.(10)

Rabu, 28 April 2010

Pesona Memudar Tanah Kelahiran

Suara Merdeka, 28 April 2010

Oleh Zakki Amali

MENGENANG Kartini adalah mengenang perempuan Indonesia. Keberadaan Kartini membawa angin segar bagi pencerdasan perempuan. Saat itu, kebanyakan perempuan berada di ruang privat keluarga.

Perempuan harus berada dan mengurusi persoalan domestik. Namun, berkat langkah Kartini, Nusantara yang tersandera kolonialisme Belanda menilik perempuan untuk diajak bersama memajukan bangsa.

Begitulah Kartini selalu dinarasikan dalam sejarah besar bangsa ini. Gerak langkahnya menarik orang-orang Eropa. Setelah kematiannya, mereka menerbitkan kumpulan surat Kartini kepada kawan-kawan korespondensinya, khususnya keluarga Abendanon.

Pemikir Indonesia juga menelaah sikap kritis Kartini. Pemerintahan Soekarno pun mengangkat dan menganugerahi Kartini gelar Pahlawan Nasional karena pemikirannya yang cemerlang tentang masa depan perempuan pribumi.

Namun siapa sangka banyak orang tak mengetahui tempat kelahiran Kartini yang tepat. Ketika berbicara tentang asal daerahnya, kebanyakan orang mungkin hanya mengenal dia sebagai pribumi Jepara yang akhirnya dimakamkan di Rembang. Padahal, detail kelahiran atau daerah asal seorang tokoh besar berkorelasi dengan kualitas pengetahuan tentang dia. Sajian detail seorang tokoh merupakan salah satu tolok ukur keseriusan menelaah sang tokoh.

Monumen Di Desa Pelemkerep, Kecamatan Mayong, Jepara, terdapat monumen ari-ari Kartini. Monumen itu berada di samping kantor kecamatan (dulu kantor wedana). Monumen serupa bunga teratai itu berada di atas tanah tak terlalu luas. Di monumen itulah, ari-ari atau plasenta Kartini ditanam.

Monumen Kartini sangat sederhana. Hanya ada monumen, sumur, dan tugu penanda tempat dia dilahirkan. Penjaga monumen, Basuki, menuturkan di tempat itu dahulu rumah keluarga Kartini berada. “Sekarang sudah tak ada bekasnya,” katanya.

Rumah asli, kata dia, telah dibong-kar untuk dan dibawa ke Jepara. Saat masih di Mayong, ayah Kartini, Mas Adipati Ario Sosroningrat, menjabat wedana. Baru setelah dua tahun sejak kelahiran Kartini, dia sekeluarga pindah ke Jepara untuk bertugas sebagai bupati.

Basuki yang menjaga monumen itu sejak 1981 menyaksikan kondisi asli sebelum direnovasi dengan pembangunan monumen. Dia menuturkan renovasi dilakukan tahun 1981 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef. “Setelah itu belum ada renovasi lagi,” ujarnya.
Keunikan Ada yang unik di kawasan monumen itu, yakni monumen ari-ari dan sumur.

Monumen dibuat menyerupai bunga teratai dengan lekuk yang bermakna kelahiran. Kuncup kedua dari atas berjumlah 21 yang menunjukkan tanggal kelahiran Kartini. Empat buah lampu menunjukkan bulan April, sedangkan 18 kuncup paling bawah menunjukkan tahun 1800. Ukiran bawah berjumlah tujuh menunjukkan angka tujuh. Kuncup paling atas sembilan menunjukkan angka sembilan. Jika dirangkai menjadi tanggal, bulan, dan tahun kelahiran Kartini: 21 April 1879.

Sumur di depan monumen masih asli. Letak dan bangunan sumur itu tak berubah. Basuki menuturkan sumber air itu tak pernah surut pada musim kemarau sekalipun. Kedalaman sumur sekitar 10 meter. “Warga sekitar sering memanfaatkan air sumur itu,” katanya.

Namun nilai kesejarahan monumen itu tak dikenal luas. Monumen itu hanya ramai menjelang April, ketika orang-orang memperingati hari kelahiran Kartini secara besar-besaran. “Orang-orang Jakarta juga pernah ke sini,” tutur Basuki.

Sampai sekarang, pesona monumen itu sebagai salah satu sumber penting dalam kesejarahan pribadi Kartini seakan-akan dibiarkan. Saripati kelahiran perempuan itu tak lebih sebagai bangunan tak bertuan.

Ya, lihatlah, betapa orang lalu lalang melewati monumen itu seperti tanpa merasakan kehadiran sosok bersejarah. Atau, mungkin malah mereka tak mengetahui apa gerangan maksud tujuan pendirian monumen ari-Ari Kartini.
Mencari kesalahan perkara itu sangat mudah. Namun tak memberikan pemecahan terbaik bagi kelangsungan nilai-nilai sejarah.

Kawasan kantor Kecamatan Mayong, tutur Basuki, berhalaman paling luas di seluruh kantor kecamatan di Jepara. Potensi itu bisa dikelola menjadi bagian perluasan monumen. Taman di dekatnya dapat pula dipercantik. Apakah bisa? Selama ada kemauan politik dari penanggung jawab daerah, itu mudah. Namun mensyaratkan juga suara masyarakat untuk menggerakkan.

Adalah kabar gembira jika ada niat menjadikan kawasan kelahiran Kartini sebagai museum bersama. Sebab, Museum Kartini di Jepara dan Rembang berkesan terpisah. Narasi yang tersaji di kedua tempat itu terpenggal. Masa kecil Kartini di Jepara, sedangkan masa berkeluarga di Rembang. Dan, saat kelahiran hingga usia dua tahun di Mayong.

Perlu membangun museum bersama untuk mengintegrasikan pemahaman tentang sosok Kartini secara holistik. Jadi tak muncul persepsi setengah-setengah tentang Kartini. Orang yang hanya tahu monumen kelahiran Kartini, misalnya, akan ragu menyatakan bahwa itu monumen Kartini, sang tokoh emansipasi.

Atau, ketika melihat foto-foto keluarga dan benda peninggalannya di Rembang, orang akan bertanya-tanya tentang masa kecil dan tempat kelahirannya.
Begitu pula yang terjadi ketika berkunjung ke Jepara dengan pertanyaan tentang nasib Kartini setelah diboyong sang suami ke Rembang. Pengetahuan yang tak lengkap bisa saja membuahkan penghayatan yang tak utuh. Dan, akhirnya berujung ke kegagalan transformasi nilai-nilai kesejarahan Kartini.

Karena itu pendirian museum Kartini yang komplet bisa diharapkan bakal memunculkan semangat untuk meneladani Kartini. Namun barangkali terlalu melangit jika tak mnempertimbangkan faktor geografis kedua daerah, Jepara dan rembang, dan berkesan memaksakan. Semoga muncul kesepakatan berbagai komponen untuk mewujudkan angan-angan tentang pembelajaran tentang Kartini melalui pendirian museum. Dengan harapan, generasi terkini lebih terpantik meneladani sosok pejuang itu. Semoga. (53)

Rabu, 14 April 2010

Reorientasi Industri Mebel Jepara

Suara Merdeka, 14 April 2010

Oleh Nasir Syar’an SIP

TANGGAL 10 April 2010 adalah hari jadi ke-461 Jepara. Inilah hari jadi pertama bagi Kota Ukir dalam suasana ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA).

Pemberlakuan ACFTA sejak 1 Januari lalu itu jelas memengaruhi tingkat persaingan dan pasar industri mebel Jepara, baik di pasar regional maupun domesti, karena tarif bea masuk dari dan ke sesama anggota ASEAN-China menjadi 0 persen.

Industri furnitur Jepara tidak hanya bersaing dengan negara peserta ACFTA di luar negeri, di dalam negeri pun industri ini akan menghadapi persaingan yang makin ketat dengan perusahaan-perusahaan dari negara tetangga.

Di sisi lain, industri mebel Jepara terdesak oleh meningkatnya harga bahan baku kayu solid yang kian hari kian langka dan mahal. Keterjepitan ini semakin menjadi-jadi dengan adanya kecenderungan perang harga antarpengusaha Jepara.

Tidak sedikit perusahaan Jepara yang menderita kerugian dan gulung tikar karena keterjepitan ini.

Jika tahun 2000 ada sekitar 450 eksportir, saat ini tinggal separo yang masih aktif. Sisanya adalah eksportir yang kesulitan dalam mendapatkan order.

Untuk keluar dari keterjepitan persaingan era ACFTA, bahan baku dan perang harga ini, industri mebel jepara perlu bergerak dari membuat sesuai pesanan menuju membangun merek yang diakui oleh pembeli akhir. Jika sasaran pasar mengakui bahwa suatu merk mebel memberikan manfaat fungsional dan emosional secara positif, berarti merek terbangun dan peluang pengembangan pasar dan nilai jual akan berkembang secara berkelanjutan.

Manfaat fungsional antara lain kenyamanan, keamanan, kekuatan produk, sedangkan manfaat emosional antara lain kebanggaan, rasa memenuhi tanggung jawab etis dalam ikut serta menjaga lingkungan hidup, misalnya.

Langkah membangun merek yang diakui pelanggan akhir tidak cukup hanya membuat nama dan logo. Diperlukan pemahaman yang cermat tentang kebutuhan, keinginan dan harapan pelanggan, rumusan citra yang mengena (positioning), promosi, tawaran produk yang menarik, dan akses untuk mendapatkan produk.

Mengapa membangun merek semakin diperlukan di tengah ACFTA dan era informasi ini? Setidaknya ada empat alasan pentingnya membangun merek.

Pertama, untuk meningkatkan nilai jual. Tanpa merek, industri Jepara hanya menjadi pembuat sesuai pesanan dari pedagang perantara. Posisi ini membuat pengusaha Jepara memperoleh nilai tambah yang jauh lebih kecil dibanding pedagang perantara ini.

Berlakulah ungkapan bahwa pedagang lebih berkuasa dari pembuat. Mengapa? Pedagang lebih tahu dari pembuat tentang keinginan dan daya beli konsumen akhir. Dia bisa merancang produk yang akan disukai konsumen akhir. Produsen tidak bisa menjual langsung kepada konsumen akhir, selain melalui pedagang perantara. Ketergantungan ini membuat pedagang dengan mudah menekan harga.

Ketergantungan ini bisa diakhiri jika pengusaha jepara membangun merek di mata konsumen akhir. Jika produk industri mebel Jepara sudah diakui mereknya, nilai jual akan berlipat jauh lebih tinggi. Dalam aturan main ACFTA, nilai tambah dari bisnis yang bermerek akan jauh lebih menguntungkan
Makin Mendekatkan Kedua, membangun merek ini diperlukan untuk perluasan pasar. Di tengah memasyarakatnya teknologi informasi bagi warga Jepara ini, merek akan semakin mendekatkan konsumen akhir dengan produsen. Konsumen akhir bisa langsung berhubungan dengan produsen melalui internet, cukup dengan mengetahui mereknya. Dengan demikian merek membantu memperpendek jalur distribusi.

Ketiga, membangun merek ini penting karena kualitas ukir Jepara berpotensi untuk menjadi merek yang membanggakan pemakainya. Kemahiran ukir Jepara adalah akumulasi pengetahuan dan pengalaman masyarakat Jepara secara turun temurun selama ratusan tahun.

Ukiran Jepara dikenal lebih hidup, halus seperti sutera, ngrawit seperti rambut. Kemahiran ini tidak mudah ditiru begitu saja oleh masyarakat dari daerah lain ataupun dari luar negeri.

Keempat, membangun merek ini semakin perlu dilakukan karena ditunjang oleh teknologi informasi yang semakin terjangkau. Riset pelanggan dan promosi ke luar negeri tidak harus dilakukan dengan membuat iklan di media luar negeri yang harganya mahal, tapi sekarang bisa dilakukan dengan melalui sarana-sarana promosi di internet, baik melalui web, portal business to business, auction, periklanan dan sebagainya.

Contoh sarana yang mempertemukan pedagang besar dan produsen adalah indonetwork.com, alibaba.com dan globalresources.com, sedangkan contoh sarana yang mempertemukan produsen dan pembeli retail adalah ebay.com. Sarana promosi ini jauh lebih terjangkau biayanya daripada promosi melalui media massa luar negeri. (10)

Kamis, 08 April 2010

Menggagas Wisata Jejak-Jejak Kartini di Jepara

Oleh Muhammad Rohani

BERBICARA tentang R.A. Kartini (1879-1904) tidak terlepas dari perbincangan mengenai Kabupaten Jepara, tempat dia dilahirkan. Kota ini menjadi saksi sejarah atas jejak kehidupan Kartini. Banyak sekali tempat-tempat bersejarah di Jepara yang terkait dengan kehidupan Kartini. Di antaranya adalah Kecamatan Mayong, Pendapa Kabupaten Jepara, Pantai Tirta Samudera atau Bandengan, dan Pantai Kartini.

Selain itu, di Jepara juga terdapat museum yang mendokumentasikan benda-benda bersejarah peninggalan Kartini dan keluarganya, yaitu Museum Kartini. Meskipun museum ini dibangun pada tahun 1975, jauh setelah Kartini wafat, tempat ini menjadi bukti historis atas kehidupan Kartini.

Berkunjung dan napak tilas ke tempat-tempat tersebut akan merekonstruksi ingatan kita akan sejarah hidup dan perjuangan Kartini. Dengan mengunjungi tempat-tempat itu kita dapat merasakan secara langsung derap kehidupan Kartini sewaktu kecil dan masa remajanya. Pada gilirannya, diharapkan ini akan menjadi sarana pendidikan dan pembelajaran bagi generasi muda, serta memotivasi mereka untuk meneladani apa yang telah dilakukan oleh Kartini bagi bangsa. Selain manfaat tersebut, kunjungan ke obyek-obyek itu juga dapat berfungsi sebagai rekreasi.

Agar lebih komprehensif dalam menyusuri jejak kehidupan Kartini, kunjungan ke obyek-obyek di atas selayaknya dilakukan secara terintegrasi. Dalam konteks ini, “Paket Wisata Jejak-Jejak Kartini” patut dijadikan sebagai konsep pariwisata di Jepara. Paket wisata tersebut berupa kunjungan ke Kecamatan Mayong, Pendapa Kabupaten, Museum Kartini, Pantai Kartini, dan Pantai Bandengan.

Mayong dipilih karena di sana terdapat Tugu Ari-Ari Kartini yang merupakan simbol dan penanda atas kelahirannya. Di kota ini Kartini kecil tinggal bersama keluarganya selama beberapa tahun. Obyek kedua adalah Pendapa Kabupaten Jepara. Di tempat ini dia mendapatkan pendidikan dan pengalaman hidup, merenungkan dan mencetuskan pemikiran-pemikirannya, serta memberdayakan masyarakat dengan mendirikan sekolah wanita dan membina para perajin ukir.

Obyek selanjutnya adalah Museum Kartini. Museum ini menyimpan benda-benda peninggalan Kartini dan keluarganya, terutama kakaknya, R.M. Panji Sosrokartono. Di Museum ini kita juga dapat mengamati koleksi benda-benda yang bernilai sejarah, serta melihat-lihat benda-benda kerajinan Jepara semisal ukir-ukiran.

Rangkaian perjalanan ditutup dengan rekreasi ke Pantai Kartini dan Pantai Bandengan. Di sana pengunjung bisa melepas penat dengan bersantai menikmati indahnya panorama pantai. Kedua pantai ini erat kaitannya dengan sejarah kehidupan Kartini. Di sana, Kartini dan saudara-saudaranya seringkali menghabiskan waktu mereka untuk bersantai. Khusus di Pantai Bandengan, Kartini pernah melakukan pembicaraan khusus dengan salah satu pejabat Pemerintah Kolonial Belanda—Mr. Abendanon—dalam rangka pengajuan beasiswa untuk belajar ke Belanda. Namun beasiswa ini akhirnya gagal.

Untuk mewujudkan gagasan paket wisata ini diperlukan dukungan berbagai pihak, terutama pemkab. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata misalnya, berperan menyediakan paket wisata ini dengan melengkapi berbagai fasilitas yang mendukungnya. Kemudian mempromosikan paket tersebut kepada khalayak, baik pelajar, mahasiswa, maupun masyarakat umum.

Melalui paket wisata pendidikan tersebut, peserta diajarkan untuk mengenang dan meneladani jasa-jasa R.A. Kartini, serta menghargai dan mengapresiasi potensi dan budaya lokal Jepara. Pada akhirnya hal ini dapat berfungsi menumbuhkan kecintaan terhadap daerah, serta memacu tumbuhnya prestasi dan kreativitas di antara mereka.

Rabu, 07 April 2010

Perlindungan Mebel Ukir Jepara

Suara Merdeka, 07 April 2010

Oleh Sahli Rais

BULAN ini mebel ukir Jepara akan diakui dan dilindungi secara international sebagai produk indikasi geografis (IG), yaitu sebuah produk yang karena karateristtik tertentu dapat menunjukkan asal suatu daerah akibat faktor lingkungan geografis, berupa pengaruh lingkungan alam (ekosistem), faktor manusia (sosio kultural) atau karena pengaruh kedua-duanya.

Artinya, mebel ukir Jepara telah memperoleh perlindungan hukum atas nama produknya sebagai produk yang berasal dari Jepara, pengakuan atas mutu dan kekhasan produk mebel ukir Jepara serta pengakuan atas tradisi, nilai-nilai pewarisan budaya dan tata cara produksi yang dikembangkan. Karena itu, kekawatiran mebel ukir Jepara diklaim oleh negara lain sebagai produknya, tidak lagi bisa dilakukan.

Pada era globalisasi ini sekat-sekat budaya sudah tidak terbatasi oleh pembagian teritorial lagi, terjadi interaksi antarwilayah sedemikian dahsyat, sehingga di mana dan kapan saja kita bisa memasuki budaya orang lain. Dampaknya, terjadi persaingan yang semakin ketat pada setiap produk, baik produk yang berbasis industri manufaktur, tradisi ataupun varietas tanaman.

Etika perdagangan global pun diatur dengan UU Hak Kekayaan Intelektual. Sebagai perwujudan dari komitmen bangsa kita yang telah masuk dalam perjanjian WTO, masing-masing negara yang tergabung harus melakukan ratifikasi terhadap Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs). Indikasi geografis (IG) sendiri telah diakui dalam perjanjian TRIPs sejak 1994, dan masuk dalam lembaran lampiran pendirian WTO.

Awalnya, konsep tentang perlindungan hukum IG mulai diformulasikan di Prancis awal abad 20 dengan sebutan apellation of origin. IG mulai menginternational di negara Uni Eropa, dimulai pada perlindungan terhadap produk-produk terkenal di UE seperti anggur, kopi, cokelat dan produk-produk yang menunjukkan ciri identitas lokal.

Indonesia telah melakukan ratifikasi terhadap Perlindungan Indikasi Geografis (IG) dengan dimilikinya UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang IG dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2007.

Perlindungan hukum IG adalah pengembangan hukum merk dalam sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual kita, selain hak cipta, paten, rahasia dagang, desain industri, dan sirkuit terpadu.

Perlindungan IG memiliki peranan penting dalam mewujudkan produk-produk lokal yang memiliki karateristik menjadi produk yang mampu bersaing dan bernilai tambah di pasar global.

Karateristik khusus baik akibat pengaruh lingkungan maupun manusia (budaya) dengan perlindungan IG bisa meningkatkan daya saing produk lokal, juga mampu menjaga identitas tersebut dalam percaturan pasar global. Karena itu, banyak negara di dunia mendorong perlindungan ini, terutama negara-negara berkembang.
Mebel ukir Jepara merupakan produk yang memiliki karateristik.

Produk ini memiliki keunikan akibat talenta yang dimiliki masyarakat secara turun- temurun dan tidak ditemukan di daerah lain. Proses pewarisan keahlian melalui sistem nyantrik merupakan tradisi dan nilai-nilai tersendiri. Proses pewarisan keahliannya tak ditemukan dalam sistem lembaga formal seperti sekolah.

Sistem Nyantrik Dalam sistem nyantrik seorang ahli ukir yang dipandang senior menerima murid melalui cara pengabdian dan pewarisan nilai-nilai budaya ukir ke cantrik tersebut. Kondisi sosio kultur di Jepara menyebabkan proses nyantrik dapat berkembang dan para ahli ukir kayu mampu melakukan pengembangan diri secara maksimal.

Seorang yang telah belajar ukir terbukti akan mengalami kesulitan berkembang jika mereka berpindah (relokasi) ke daerah lain di luar Jepara, apalagi oleh orang-orang dari luar wilayah Jepara.

Penanda kualitas khusus pada produk mebel ukir Jepara yang disebabkan oleh manusianya, keahlian, talenta, dan keterampilan perajin ukir Jepara, tradisi dan lingkungan sosio kultural dapat menjadi alasan diperolehnya perlindungan IG.

Awalnya diragukan karena selama ini produk yang masuk dalam sertifikasi IG cenderung produk yang berasal dari varietas tanaman, lebih pada faktor alam. Misalnya kopi kintamani bali, kopi gayo arabika aceh, lada putih muntok, kopi toraja, ubi cilembu, beras cianjur, dan lada aceh. Untuk membuktikan, tim JIPMUJ telah melakukan kajian historis dan bukti artefak tentang ukir Jepara yang dituangkan dalam buku persyaratan IG.

Alasan lain mebel ukir Jepara mendapat perlindungan IG adalah melihat kondisi di lapangan. Data tahun 2006 menyebutkan jenis industri itu tercatat 3.870 unit dengan total tenaga kerja terserap 59.070 orang. (10)

Kamis, 01 April 2010

Amoralitas Siswa dan Peran Sekolah

Suara Merdeka, 01 April 2010

Oleh M Saifuddin Alia

SALAH satu problem besar dunia pendidikan yang harus segera ditangani dengan serius adalah perihal moralitas siswa yang kondisinya sekarang sangat memprihatinkan. Betapa tidak, nyaris setiap hari kita selalu disuguhi berita tentang amoralitas siswa, baik itu dari media cetak maupun elektronik, baik itu dilakukan oleh siswa SMP maupun SMA.

Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, perilaku amoralis itu ada yang dilakukan oleh siswa SD. Baik dalam bentuk tawuran antar pelajar, pergaulan bebas, pelecehan seksual, pencurian, penipuan, perjudian, maupun mengonsumsi narkoba.

Nah, mengingat kondisi riil moralitas siswa kian hari kian mengkhawatirkan, maka optimalisasi peran sekolah untuk mengatasi masalah tersebut menjadi keniscayaan.

Dalam konteks ini, setiap sekolah diharapkan secara khusus memberi perhatian terhadap masalah amoralitas siswa itu. Misalnya, dengan menciptakan suasana sekolah lebih religius, mewajibkan setiap siswa untuk taat menjalankan perintah agama, serta menjauhi segala larangannya.

Intensifikasi bimbingan rohani siswa hendaknya juga ditingkatkan. Tentu sekolah harus bersikap tegas terhadap siswa yang terbukti melakukan perbuatan amorali. Sekolah hendaknya memberi sanksi seberat mungkin pada mereka.

Ini penting sekali sebab selain hal itu merupakan wujud hukuman, juga sekaligus merupakan suatu tindakan pencegahan agar siswa tidak sampai terjerumus walaupun sekali saja.

Optimalisasi peran sekolah ini harus mendapat dukungan penuh dari keluarga, khususnya wali murid. Keluarga sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi anak dituntut mampu untuk selalu memberikan nasihat pada putra-putrinya, dan sekaligus senantiasa mengawasi pergaulan mereka.
Keluargalah yang bisa memantau secara aktif dan memiliki waktu lebih banyak bila dibandingkan dengan pihak sekolah yang hanya bisa mengawasi siswa selama 7-8 jam.

Optimalisasi peran sekolah juga harus mendapat dukungan maksimal dari masyarakat. Bila ketiga komponen utama di atas bisa bekerja sama dengan padu dan saling bantu-membantu, maka dapat dipastikan proyek besar untuk membangun moralitas siswa akan tercapai. Wallahu aílam. (45)

Sabtu, 20 Maret 2010

Pudarnya Pesona PLTN

Oleh Muh. Khamdan

KETEGANGAN
wacana dan aksi menyangkut pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara telah menemui ujung pangkalnya. Kelanjutan pembahasan proyek "mercusuar" pengadaan energi listrik nasional tersebut akan digulirkan kembali pada 2018. Tercatat pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUTN) Departemen Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang pernah dirilis pada 2008, PLTN tidak lagi masuk dalam program prioritas.


Selama ini, nuklir selalu dikampanyekan sebagai salah satu alternatif pemasok krisis energi listrik di Indonesia. Terlebih untuk mencukupi kebutuhan listrik suatu negara berpenduduk besar dengan daratan yang terbatas seperti Indonesia, diperlukan suatu sumber energi yang ramah lingkungan dan berintensitas tinggi seperti PLTN. Namun gagalnya megaproyek PLTN di Semenanjung Muria cukup menjelaskan tingkat ketegangan yang dihadapi pemerintah dengan masyarakat lokal dan pemerhati lingkungan.

Persoalan ketegangan tersebut bisa dilihat dari aksi penolakan yang terakhir terjadi di Jepara melalui bentangan spanduk sepanjang 500 meter berisi tanda tangan penolakan PLTN, di Desa Balong, Kecamatan Kembang dan pengiriman surat penolakan dari masyarakat seberat hampir 40 kg. Bahkan kalangan agamawan yang dimotori NU Kabupaten Jepara telah menggelar halaqoh fiqih lingkungan yang menghasilkan fatwa haram atas pembangunan PLTN di Jepara pada September 2007 sebagai refleksi bencana energi atas Kebocoran di pusat nuklir Chernobyl, Uni Soviet, 26 April 1986. Bisa dikatakan, aksi penolakan bukan hanya isu spekulatif karena sejauh ini selalu beriringan dengan aksi kampanye yang dilakukan oleh pemerintah, bahkan terkesan konfrontatif.

Dalam langkah "pemaksaan" promosi keunggulan nuklir sebagai energi alternatif, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) telah memprovokasi masyarakat Jepara dan sekitarnya dengan memasuki ranah pendidikan formal. Dalam hal ini, program kampanye tidak sekadar mengadakan diskusi tetapi semakin massif dengan mengedarkan buku tentang nuklir berjudul "PLTN Manfaat dan Potensi Bahayanya" pada beberapa sekolah di Kabupaten Kudus, Pati, dan Jepara, secara gratis (Kompas,1/4). Hal Dengan program ini, tak lain karena Kementerian Negara Riset dan Teknologi berupaya menggiring para guru beserta murid mulai tingkat SD, SMP, hingga SMA untuk ikut mengkampanyekan PLTN.

Melihat masa sebelumnya, kampanye pemanfaatan nuklir juga telah memasuki kampung-kampung di Kabupaten Jepara. Tentu bukan tanpa sebab jika Bappeda Jepara bekerjasama dengan Kementerian Ristek, LIPI, BPPT, dan BATAN mendeklarasikan terbangunnya Kampung Teknologi, di Desa Suwawal Timur, Pakis Aji, Jepara (25/08/08). Menariknya adalah simpati dan dukungan dari banyak pihak begitu besar terhadap langkah ini seolah membenarkan begitu besarnya manfaat nuklir untuk kesejahteraan masyarakat. Setidaknya anggapan itu dibenarkan melalui aplikasi teknik nuklir berupa gauging dan lodging diperankan dalam bidang hidrologi yang dapat membantu menemukan sumber air tanah dalam di wilayah Suwawal.� Namun juga sangat dimungkinkan deklarasi Kampung Teknologi tidak dirancang secara matang sehingga tidak berkesinambungan.

Upaya Pengesampingan
Hampir sama dengan isu politik pembangunan, sebagaimana lingkaran tematis Peter L Berger dalam bukunya Pyramids of sacrifice (1974), terdapat biaya-biaya manusiawi yang pada akhirnya menjadikan masyarakat sebagai korban fisik demi kemajuan dalam pemaksaan berdirinya PLTN. Untuk kepentingan pembangunan PLTN yang berkaitan dengan klaim kemajuan atas teknologi nasional, mesti diperhitungkan bentuk paling mengerikan. Cara pandang seperti ini semakin membuat banyak solusi pembangunan dengan kemungkinan resiko terkecil dengan adanya kenyataan bahwa Pulau Jawa dan wilayah Indonesia secara keseluruhan telah menjelma menjadi "Supermarket Bencana".

Semestinya respon tersebut mempunyai relevansi yang cukup praktis dengan hasil Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference) yang berlangsung di Manado pada 11-15 Mei 2009, tak kurang sekitar 146 menteri kelautan dari berbagai negara sudah mempersiapkan skenario pengelolaan kelautan dan perikanan serta keanekaragaman hayati yang berkelanjutan secara lintas sektoral. Sementara 610 pakar kelautan dari dalam dan luar negeri menjadi pembicara dalam simposium tentang ilmu pengetahuan dan teknologi yang tentunya tidak hanya semacam permainan intelektual saja.

Kajian mendalam menitikberatkan pada pengoptimalan sumber energi alternatif terbarukan dari laut seperti energi gelombang, energi yang timbul akibat perbedaan suhu antara permukaan air dan dasar laut (Ocean Thermal Energy Conversion/OTEC), energi yang muncul akibat perbedaan tinggi permukaan air yang disebabkan oleh pasang surut, serta energi yang ditimbulkan oleh arus laut. Dari sejumlah sumber energi alternatif tersebut, Indonesia memiliki prospek bagus pada pengembangan energi arus laut.

Analisa tersebut dapat difahami karena wilayah Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang memiliki banyak selat, sehingga arus laut mengalami percepatan saat melewati selat-selat tersebut. Di samping itu wilayah Indonesia merupakan tempat pertemuan arus laut dunia yang diakibatkan oleh pasang surut air laut yang dominan di Samudra Hindia akibat gerak Bulan Mengelilingi Bumi, dan pasang surut air laut yang dominan di Samudra Pasifik akibat kecondongan orbit Bulan saat mengelilingi Bumi.

OTEC bukan suatu teknologi yang baru karena pada 1881, Jacques Arsene d�Arsonval, seorang fisikawan asal Perancis mengajukan usulan untuk membuat pembangkit yang mengubah suhu air laut menjadi energi listrik. Usaha ini dilanjutkan oleh George Claude yang berhasil membangun reaktor OTEC pertama pada 1930.

Pada 1974, Natural Energy Laboratory of Hawaii asal Amerika Serikat membangun reaktor OTEC terbesar di dunia yang berada di pantai Koha, Hawaii. Dan secara berlanjut, negara-negara lain segera membangun hal yang sama, seperti India, Jepang, dan Perancis.

Pembangkit listrik dengan sistem OTEC memang membutuhkan persyaratan khusus, namun itu hanya terkait dengan kondisi alam. Setidaknya sebuah instalasi OTEC membutuhkan lingkungan laut yang memiliki perbedaan suhu antara suhu permukaan dengan suhu kedalaman minimum 20 derajat celcius tiap 100 meter. Dan tentunya, hal demikian bukan suatu masalah bagi lautan tropis seperti Indonesia.
Meskipun Indonesia memiliki kecocokan dalam pengembangan OTEC, tetapi belum didukung adanya penelitian yang baik. Maklum, pola pengembangan pemenuhan energi listrik sudah diarahkan pada pembangunan PLTN. Padahal, Jepang telah mampu membuat instalasi OTEC berkapasitas 40.000 watt, sedangkan Amerika Serikat sendiri lebih unggul mencapai 50.000 watt.

Selain sebagai pembangkit tenaga listrik, OTEC dapat juga dijadikan sebagai proses membuat air tawar dari hasil kondensasi uap air laut, penghasil sistem pendingin ruangan bagi bangunan di atas laut, sekaligus mengekstrasi mineral berharga. Selain itu, hal yang penting dari pemanfaatan OTEC adalah tidak adanya limbah yang merusak lingkungan laut.

Laut yang berperan vital sebagai penyerap karbon sekaligus penghasil energi yang murah serta ramah lingkungan mesti mendapatkan perhatian kembali dari semua pihak, dan itu bisa dimulai dari daerah-daerah pesisir di seluruh Indonesia, termasuk Jepara. Maka menjadi penting untuk mengenalkan teknologi kelautan guna mengimbangi memudarnya pamor PLTN di masyarakat. Bisa jadi, pembekuan pembangunan PLTN menjadi momentum untuk menjadikan laut sebagai simbol kejayaan bangsa. (*)

Sabtu, 27 Februari 2010

Mengembalikan Citra Pantai Kartini

SUARA MERDEKA, 27 FEBRUARI 2010

Oleh M Saifuddin Alia

BEBERAPA waktu lalu penulis bersama keluarga berlibur ke tempat wisata paling populer di Jepara, yaitu Pantai Kartini. Objek wisata kebanggaan warga Jepara itu telah mengalami kemajuan pesat sehingga benar-benar menarik dikunjungi.

Maka tidak mengherankan bila Pantai Kartini setiap harinya tidak pernah sepi pengunjung. Apalagi pada saat liburan hari Minggu dan hari-hari besar lainnya, pantai itu dipadati wisatawan, baik dari Jepara maupun dari kota lain, semisal dari Kudus, Demak, Pati, Rembang, Purwodadi, atau Semarang.

Keberhasilan pengelola objek wisata Pantai Kartini menggaet banyak pengunjung tidak terlepas dari keadaannya sekarang. Wisatawan selain dapat menikmati indahnya pantai, dapat berlayar menggunakan perahu atau kapal kecil ke Pulau Panjang dengan tarif relatif terjangkau. Juga relatif aman karena ombaknya tidak terlalu besar.

Sesampainya di Pulau Panjang, wisatawan bisa menikmati indahnya pantai pasir putih. Di sana mereka dapat melihat-lihat aneka jenis burung. Tentunya bisa sekaligus berwisata religi, yaitu berziarah ke makam salah satu waliyullah, As-Syaikh Abu Bakar bin Yahya.

Kemenarikan Pantai Kartini tidak hanya terletak pada wisata pantai atau lautnya tetapi karena objek tersebut kini telah dilengkapi dengan beraneka ragam permainan. Terutama permainan anak-anak yang terbilang cukup lengkap untuk lingkup daerah. Juga tersedia tempat yang berfungsi sebagai panggung hiburan yang cukup memadai, yang setiap hari libur tidak pernah absen menampilkan sajian grup musik dangdut ataupun pop, baik lokal maupun nasional.

Khusus bagi pecinta wisata kuliner, di objek wisata pantai ini tersedia beraneka menu masakan yang lezat. Pengunjung bisa dengan mudah memilih menu kesukaannya di warung-warung yang tersedia. Soal harga, jangan khawatir karena dijamin wajar dan cukup terjangkau.

Dengan kondisi seperti itu, cukup pantas bila objek wisata tersebut selalu dibanjiri pengunjung. Namun sayang, saat berjalan-jalan menikmati indahnya Pantai Kartini, sebagian pengunjung mengungkapkan keprihatinannya. Betapa tidak? Kondisi bangunan kura-kura raksasa yang berada di tengah-tengah objek wisata yang rencananya akan dijadikan sebagai Sea World-nya Jepara itu sangat memprihatinkan.

Setelah pada pertengahan dan penghujung tahun 2009 mendapat desakan dan tuntutan secara bertubi-tubi dari anggota DPRD, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, dan elemen masyarakat agar bangunan itu segera diselesaikan, faktanya hingga kini keadaannya belum mengalami perubahan. Masih tetap kotor serta terbengkalai alias belum bisa difungsikan.
Lebih parah lagi setiap datang hujan atap bangunan kura-kura raksasa yang tampak berdiri megah itu juga pada bocor. Siripnya terlihat retak-retak, lantainya juga mulai rusak dan sebagainya.

Anggaran Perawatan Makanya dengan melihat secara langsung kondisi bangunan tersebut masih seperti itu, penulis menilai sangat wajar dan sudah sepantasnya bila pembangunan Kura-kura Raksasa yang diprakarsai Pemkab Jepara tersebut dinilai oleh sebagian masyarakat Jepara lebih banyak ruginya. Sebagai gambaran, hingga kini uang rakyat yang dipakai untuk membangun sekurang-kurangnya Rp 8 miliar. Nilai yang cukup fantastis. Anggaran sebanyak itu masih ditambah lagi dengan kucuran anggaran perawatan setiap tahun lewat APBD. Padahal faktanya pemasukan dari kura-kura raksasa masih nol besar, alias nihil, karena memang belum bisa difungsikan.

Untuk itu, sudah seharusnya Pemkab Jepara segera membenahi secara total. Pemkab jangan sampai terkesan cuek dan membiarkan proyek itu terbengkalai. Apalagi sampai ada kesan di masyarakat bahwa Pemkab kurang bertanggung jawab atas aset yang pembangunannya menelan uang rakyat miliaran rupiah.

Sebagai pemrakarsa, Pemkab hendaknya secepatnya membuktikan kepada rakyat, bahwa proyek tersebut bukan menghambur-hamburkan uang rakyat melainkan justru menguntungkan masyarakat.

Seperti yang selalu diungkapkan Bupati H Hendro Martojo di berbagai kesempatan, bahwa tujuan utama dibangunnya Kura-kura Raksasa adalah sebagai Sea World-nya Jepara.

Pembangunan itu nantinya diharapkan dapat memberikan kontribusi positif pada masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi dan kepariwisataan. Jadi, cukuplah jelas bahwa memang tidak ada alasan lagi untuk menunda-menunda menyelesaikan serta menyempurnakan bangunan tersebut.

Tujuannya satu yakni agar bangunan itu dapat bermanfaat dan dinikmati oleh masyarakat Jepara serta wisatawan pada umumnya. Jadi tidak ada lagi keprihatinan di Pantai Kartini. Sekali lagi untuk Pemkab, selamat bekerja keras dan selamat membuktikan kepada masyarakat dan wisatawan. (10)

Senin, 01 Februari 2010

Sesama Suporter Bersaudara

Suara Merdeka, 01 Februari 2010

Bagaimanakah seharusnya kita menyikapi insiden pecegatan dan penyerangan terhadap rombongan suporter Persijap Jepara oleh sekelompok orang yang disebut-sebut sebagai oknum kelompok suporter sepak bola di Semarang? Yang paling awal tentulah keprihatinan mendalam, karena peristiwa itu sudah memasuki wilayah kriminal ketimbang sekadar urusan dukung-mendukung tim sepak bola. Apa pun keterkaitannya dengan urusan masa lalu, kenyataannya yang terjadi pada Jumat malam lalu itu adalah tindak kejahatan.


Berikutnya adalah tanda tanya, apa yang sebenarnya dicari oleh kelompok penyerang itu: menghadang dan merusak bus rombongan Jepara yang akan menonton pertandingan Persijap di Jakarta? Kalau hanya dilatarbelakangi oleh dendam atas sejumlah peristiwa bentrok tahun-tahun silam, keuntungan apa yang mereka dapat kecuali hanya mudah ditandai telah melakukan tindak kejahatan penyerangan? Modus yang tampak terencana makin menumbuhkan pertanyaan: siapa aktor intelektualnya, dan apa motivasinya?

Semarang dan Jepara adalah dua entitas sepak bola yang sama-sama memiliki pendukung fanatik. Namun realitas dalam sejarah persebaran prestasi menunjukkan, jika salah satu tim mewakili entitas lebih luas – dalam hal ini region Jawa Tengah – ke tingkat lebih tinggi, publik dua entitas itu bersatu padu sebagai pendukung. Kesadaran sebagai saudara melekat dalam komunitas provinsial. Ide mulia inilah yang mestinya digalang bersama antara para petinggi kelompok suporter, juga institusi-institusi dalam kepemimpinan formal.

Kita selalu memahami jiwa keberpihakan yang mengendap di alam bawah sadar dalam urusan persuporteran sepak bola. Bukan hanya di Tanah Air, di banyak negara pun fanatisme bisa bergerak ke arah vandalisme dan anarkisme, yang kemudian menumbuhkan banyak analisis tentang kemungkinan sepak bola menjadi medium ekspresi bagi naluri-naluri tribalitas. Banyak kemungkinan adanya kepentingan atau ekspresi lain yang ”menumpang”, yang sebenarnya sangat jauh di luar lapangan dan urusan sepak bola.

Gagasan dan langkah-langkah ideal mengusung persuporteran sebagai suatu gerakan entertainment dalam memberi dukungan kepada tim kesayangan, selalu berhadapan dengan politisasi ekspresi-ekspresi lain itu. Maka sepak bola pun kerap dianalogikan sebagai ”jagat kecil” yang merefleksikan apa yang tengah dihadapi suatu bangsa atau kelompok di ”jagat besar”. Fenomena suporter bandha nekat (bonek) merupakan salah satu contoh pantulan dari ekspresi publik yang menghadapi tekanan-tekanan hidup keseharian.

Apa pun latar belakangnya, secara hukum kita tidak boleh menoleransi ketika ekspresi-ekspresi itu sudah menerbitkan gangguan atau bahkan ancaman bagi keselamatan, ketertiban, dan kenyamanan hidup masyarakat. Jangan ada apologi atau justifikasi. Kita memang harus menyelesaikan banyak soal di tingkat kehidupan rakyat, namun kekerasan yang muncul sebagai bias dari dunia persuporteran tetap menjadi tanggung jawab aparat hukum. Tindakan untuk menciptakan efek jera harus konsisten kita tegakkan.

Jumat, 29 Januari 2010

Mengusung Troso ke Sekolah

Suara Merdeka, 29 Januari 2010

Oleh Rhobi Shani
warga Jepara, guru SMA Sultan Agung Semarang

PESONA warna dan motif kain tenun troso telah terbukti di jagat industri tekstil di Indonesia. Selain ukiran dan mebel, tenun troso juga menjadi andalan industri dan pariwisata Jepara. Maka sangat disayangkan jika tenun troso yang ada sejak dulu ditinggalkan masyarakat pendukungnya.

Fakta sekarang toko-toko pakaian jadi di Jepara tak banyak yang menjual kemeja berbahan tenun torso. Hal ini, apakah disebabkan corak dan motif yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman, atau jangan-jangan masyarakat memang enggan memakainya.

Pasalnya kemeja yang dibuat dari kain tenun torso kini identik dengan seragam. Mulai seragam kerja dinas instansi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara sampai seragam perkumpulan pengajian bapak-bapak ataupun ibu-ibu PKK di desa-desa. Nampaknya pelaku industri kain tenun troso belum membidik pasar anak-anak dan remaja.

Inisiatif Pemkab Jepara menelurkan peraturan daerah (perda) yang mewajibkan pegawai negeri ataupun swasta di instansi pemerintah harus mengenakan seragam berbahan tenun troso patut diacungi jempol.

Kebijakan memakai seragam troso diberlakukan pada hari Kamis hingga Sabtu, yaitu warna biru untuk hari Kamis dan Jumat. Sedangkan hari Sabtu warna bebas, sesuai dengan selera pemakainya.

Langkah tersebut harus kita sambut baik. Artinya, ketika kita mengenakan seragam tersebut dengan senang hati dan bangga. Tak perlu bersungut-sungut atau risi mengenakan seragam tenun dari Desa Troso Kecamatan Pecangan itu.

Minimal, kebijakan tersebut demi menjaga dan melestarikan salah satu kekayaan kesenian dan kebudayaan Jepara. Selain itu, juga meningkatkan produksi dan pasar lokal.

Sayang, kebijakan yang mengharuskan memakai seragam tenun troso tersebut memutus mata rantai pelestari, pecinta, dan pemakai kain tenun troso. Pasalnya yang dibidik hanya generasi tua. Kebijakan yang membidik anak-anak dan remaja belum dilahirkan.

Andai kebijakan mengenakan seragam troso juga diberlakukan bagi siswa sekolah tentu akan meningkatkan produksi pasar lokal. Mulai siswa pendidikan taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas tak ada salahnya jika juga diwajibkan memakai seragam tenun troso.

Jadi sejak dini anak terbiasa mengenakan seragam (pakaian) berbahan dasar kain khas Jepara itu. Maka dengan sendirinya kecintaan dan kebanggaan akan tenun troso tumbuh tanpa paksaan (tuntutan peraturan). Jadi, dalam kehidupan sosial generasi muda bangga dan percaya diri memakai baju tenun troso.

Identitas Daerah Peraturan yang mewajibkan siswa memakai seragam sekolah tenun troso tak sekadar menyambung mata rantai pemakai dan pecinta tenun itu. Kewajiban itu juga bisa dijadikan identitas daerah.

Misalnya, ketika pemkab mengikutsertakan siswa terbaiknya dalam lomba-lomba di tingkat regional ataupun nasional, duta dari Bumi Kartini mengenakan seragam khasnya.
Tak hanya identitas daerah, corak, dan warna tentun troso yang ada saat ini juga dapat digunakan untuk membedakan jenis jenjang sekolah.

Misalnya dengan mengadopsi warna seragam yang sudah ada saat ini. Warna bawahan merah untuk jenjang sekolah dasar. Warna bawahan biru untuk sekolah menengah pertama, dan warna bawahan abu-abu untuk jenjang sekolah menengah atas atau kejuruan.

Jika pemkab hendak memberikan kelonggaran kepada pihak sekolah untuk menentukan warna dan motif pun masih sangat mungkin.

Pasalnya, keanekaragaman warna dan motif kainnya sangat bervariatif. Sekolah yang menentukan sendiri warna dan motif, dan dengan begitu pengawasan aktivitas siswa di luar sekolah bisa dengan mudah dilakukan.

Pengawasan pihak sekolah terhadap aktivitas siswa di luar sekolah akan sulit jika siswa mengenakan seragam baku yang sudah ada.

Sebab, untuk mengetahui siswa yang dimaksud dari sekolah mana, kita harus membaca lokasi (nama sekolah-Red) yang melekat pada lengan baju seragam bagian kanan atas.

Berbeda jika sekolah memiliki seragam identitas, maka tanpa harus membaca Lokasi, kita dapat mengetahui siswa tersebut dari sekolah tertentu.

Sekolah swasta yang memiliki identitas seragam sekolah bisa memeloporinya dengan menggunakan tenun troso untuk dijadikan seragam identitas. Selama ini warna dan motif mayoritas seragam identitas sekolah swasta ataupun negeri hampir serupa.

Dapat dipastikan, pasti bermotif lambang sekolah. Jika memang lambang sekolah dirasa suatu hal yang sakral sebagai penanda identitas sekolah, tidak ada salahnya jika kain tenun troso bermotif lambang sekolah.

Lantas, apabila pemkab memberikan keluwesan kepada pihak sekolah untuk mengkreasi sendiri model seragam sekolah itu juga lebih bijak.

Dengan begitu, masing-masing sekolah tentu akan berpacu menciptakan model seragam sekolah yang modis, kreatif, tetapi tetap memegang nilai dan tatanan berpakaian. Sebab, warna, corak, dan motif sangat memungkinkan untuk dikreasi menjadi beraneka ragam bentuk mode.

Kini kelangsungan dan eksistensi keberadaan tenun troso juga tak bisa terlepas dari kebijakan pemerintah kabupaten. Peraturan daerah yang strategis turut ambil bagian demi keberadaan tenun itu pada masyarakat pemakainya.

Selain itu, pemakainya harus bangga dan merasa percaya diri mengenakan hasil kerajinan daerah sendiri. Rasa memiliki dan kecintaan kita yang akan terus menghidupi keberadaan tenun troso. (10)

Senin, 25 Januari 2010

Pelatihan Jurnalistik SMA dan Santri se-Jepara*

Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS) Cabang IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Smart Institute Jepara menyelenggarakan Pelatihan Jurnalistik SMA dan Santri se-Jepara 2010 yang akan dilaksanakan pada:
Hari : Sabtu
Tanggal : 06 Februari 2010
Waktu : 08.00 wib - selesai
Tempat : Aula SMAN 1 Jepara
Pembicara: Arif Darmawan (Majalah Pena, Inkom Jepara)
Muhammadun Sanomae (Kabiro Suara Muria)
M Saifuddin Alia (konsultan Smart Institute Jepara)

*) Setiap peserta mendapatkan majalah Pena, Inkom Jepara secara cuma-cuma.

INFO LANJUT:
085226200477 (Muhammad Shoim| ketua KMJS IAIN Walisongo)
085640033625 (Syaiful Mustaqim| direktur Smart Institute Jepara)

Senin, 18 Januari 2010

Meracik Pop Religi dan Dangdut Jepara

Suara Merdeka, 18 Januari 2010

Oleh Fathurozi
Ketua Komunitas Mahasiswa Kreatif (KMK), mahasiswa IAIN Walisongo Semarang

TULISAN M Abdullah Badri berjudul Tren Baru Pop Religi Jepara (SM, 26/12/2009) mengambarkan pergeseran dangdut ke maulidan (perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW).

Pergeseran ini terjadi, waktu acara maulidan menghadirkan Habib Syekh bin Abdul Qodir, saat itu pengunjung beragam, dari kalangan tua, muda, anak-anak, pedagang asongan, petani, santri, sampai abangan.

Mereka merasa menemukan idola baru, bahkan mereka mengikuti di manapun sang idola manggung. Pengagum fanatik musik apapun akan selalu menyempatkan waktu, menyaksikan sang idola tampil.

Badri melihat fenomena ini baru dari salah satu sudut pandang yakni ketika melihat orkesan dangdut dan maulidan diadakan bersamaan oleh dua orang bertetangga dalam satu desa. Namun, jumlah penikmat dangdut tidak bisa melebihi hadirin pangajian maulidan.

Kejadian semacam ini, bukan dialami masyarakat Jepara saja melainkan seluruh masyarakat Nusantara karena mengikuti maulidan bagi kalangan pengikut Nabi Muhammad SAW adalah sunah hukumnya.

Dalam menyambut perayaan kelahiran Nabi atau bahasa modernnya ulang tahun, seluruh pengikutnya mengadakan maulidan di mushala dan masjid.

Maulidan berisi pembacaan barzanji selama 12 hari dan puncaknya syukuran atas lahirnya pemimpin reformasi, yang membebaskan umat manusia dari belenggu kaum jahiliyah.

Beraneka ragam acara dipersiapkan seperti pengajian akbar, lomba tilawah, rebana, azan, sepeda santai, pasar murah, dan khitanan massal. Kegiatan ini sudah jadi tradisi masyarakat Jepara dan umat Islam di belahan dunia.

Jepara yang terkenal dengan sebutan Kota Ukir, masyarakatnya gemar musik dangdut. Kelompok dangdut asal Jepara tidak asing lagi di kalangan masyarakat pantura timur Jawa Tengah.

Sejak tahun l970-an, puluhan grup musik melayu (dangdut) bermunculan, tapi ada salah satu grup yang dikenal masyarakat, bahkan merajai Jawa Tengah, yakni Bintang Pagi.

Namun pada era 1990-an, grup dangdut tuan rumah mulai tersaingi oleh pendatang baru dari Demak yakni Arista.

Picu Semangat Keeksisan Arista, memicu semangat musisi Jepara melahirkan grup baru seperti Birawa, Rush, Rolysta, Relaxa, Tepos, Star Band, dan banyak lagi. Di Jepara ada sedikitnya 100 grup, besar-kecil, yang siap memanjakan pengemarnya. Grup dangdut meracik-racik musik, mengikuti tren yang berkembang di masyarakat.

Seiring waktu, penyanyi asal Jepara meramaikan blantika musik Indonesia. Sebut saja kehadiran Jamal Mirdad, putra Kota Ukir, yang sukses mengusung dangdut, selain berkiprah di jalur pop dan kini sinetron.

Dangdut sebagai hiburan rakyat ini, jangan dipandang sebelah mata karena layak dijual di pasaran. Meskipun penontonnya dikenai tiket masuk, penikmatnya sedikit pun tak berkurang, bahkan cendurung meningkat.

Dangdut sering diindetikkan dengan musik pinggiran atau masyarakat menengah ke bawah, tapi sekarang penikmatnya merambah ke masyarakat modern dan instansi pemerintah.

Pengusaha besar pun sering memakai jasa dangdut untuk meramaikan acaranya. Band yang beraliran pop di Jepara, kurang bisa menandingi membeludaknya jumlah penonton dangdut, dan satu per satu band vakum bahkan di ambang runtuh.

Warna musik dangdut Jepara, selalu mempunyai kreasi baru, antara lain mengaransemen ulang lagu pop ke dangdut atau dangdut koplo. Hal itu jadi ciri khas tersendiri, dan penikmatnya pun enggan bergeser dari musik asli Indonesia tersebut.

Jika kita lihat realita di dunia entertainment, band pop mencoba merebut hati penikmat dangdut, seperti Band Ungu atau Dewa 19 yang sukarela memberikan lagunya dinyanyikan versi Trio Macan.

Jadi, kejayaan produk budaya Indonesia masih mempunyai tempat di hati masyarakat secara luas. Apabila yang diungkapkan Badri itu benar adanya hal itu merupakan langkah positif.

Tapi jika hanya sebagai pemenuhan spiritual sesaat maka setelah mualidan selesai mereka berbalik ke warna semula yakni menjadi pengagum dangdut.

Menurut penulis, kemungkinan sangat kecil, penggemar dangdut beralih ke pop religi, karena kedua musik tersebut, mempunyai fans yang berbeda.

Bisa dikatakan fans dangdut adalah kalangan biasa, dan fans pop religi hampir dipastikan orang agamis, termasuk kalangan pondok pesantren.

Suatu ketika penulis bertanya ke beberapa teman asal Jepara, rata-rata dari mereka masih meragukan penikmat dangdut berpaling ke idola baru itu.

Mereka berpendapat dangdut sudah jadi bagian hidup masyarakat setempat, semisal orang melaksanakan hajatan, jika tidak ada hiburan dangdut rasanya kurang lengkap.

Beralihnya fans dangdut ke pop religi (maulid) kemungkinan musiman (tahunan) saja yakni pada bulan Maulid. Saat bulan itu tiba, mereka ramai-ramai merayakan, karena sudah jadi tradisi turun-temurun, penggemar fanatik dangdut tetap fanatik dengan aliran musik itu. (10)

Kamis, 14 Januari 2010

Potensi Desa Wisata Durian di Jepara

Kompas Jateng, 14 Januari 2010

Oleh SEPTINA NAFIYANTI
Petani dan Peneliti di Paradigma Institute STAIN Kudus, tinggal di Jepara

Sejak dulu, Jepara terkenal dengan durian bervarietas tinggi. Sebut saja durian petruk yang terkenal manis dan legit, serta daging buahnya yang sangat tebal. Terakhir, tiga varietas baru yaitu sutriman, subandi, dan sukarman juga diakui secara nasional melalui lomba durian oleh Kementerian Pertanian.

Melihat potensi Jepara dengan varietas unggul buah durian itu, saya jadi mengingat kebun apel Kusuma Agrowisata di Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Rasa-rasanya tidak salah jika pemerintah kabupaten mau membuat konsep desa wisata durian di Jepara. Terlebih, area untuk pengembangan desa wisata durian sudah ada. Di Kecamatan Pakis Aji ada lahan seluas 50 hektar yang ditanami durian petruk dan mulai dikembangkan sejak lima tahun lalu.

Konsep desa wisata durian otomatis bisa semakin mengenalkan keunggulan durian-durian asal Jepara. Varietas-varietas durian unggul asal Jepara juga akan semakin dikenal, bukan hanya durian petruk.

Konsep desa wisata durian juga bisa merangsang perekonomian di Jepara. Petani di sekitar desa pariwisata bisa diarahkan untuk budidaya tanaman durian. Masyarakat sekitar juga bakal terkena imbasnya dengan menciptakan iklim pariwisata. Sebab, setiap tempat wisata tentu memberikan peluang usaha untuk masyarakat sekitar, seperti berdagang, parkir.

Dengan desa wisata durian, masyarakat dari berbagai kota bisa langsung menuju ke lokasi. Bahkan, tidak hanya untuk membeli durian, akan tetapi juga bisa menikmati suasana kampung dengan ciri khas masayarakat sekitar.

Salah satu cara untuk mendongkrak perekonomian melalui budidaya durian adalah membuat durian berbuah lebih dari satu kali dalam setahun atau dengan membuat durian berbuah tidak pada musimnya.

Senin, 11 Januari 2010

Pelajaran Catur

Suara Merdeka, 11 Januari 2010

Oleh Yusuf Afandi
guru SD N 4 Bategede, Nalumsari, Jepara

SEJAK 2006, olah raga catur secara resmi masuk dalam salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan di Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda) dan Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas). Kenyataan ini tentu sangat menggembirakan, namun ada hal aneh yang mungkin luput dari perhatian pemerintah.

Dalam kenyataannya olahraga catur belum dimasukkan dalam kurikulum resmi sekolah formal. Bahkan, di lembaga pendidikan tinggi pencetak guru olahraga (FPOK), tidak ada mata kuliah khusus yang memelajari catur.

Padahal di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Rusia, Zaire, dan yang kemudian menyusul belakangan adalah Jepang, sudah lama memasukkan catur dalam kurikulum pendidikannya.

Tujuan catur dimasukkan dalam kurikulum sekolah bukanlah semata-mata untuk mencetak atlet dan meraih prestasi catur, tapi lebih dari itu. Di balik permainan catur terkandung nilai-nilai positif yang luar biasa.

Di antaranya belajar menganalisis dan memecahkan masalah, belajar mengambil keputusan yang konsisten, meningkatkan kecerdasan dan daya ingat, meningkatkan kepercayaan diri, melatih disiplin, mengasah logika, belajar menerima kemenangan dan kekalahan (sportif), belajar merencanakan, mengatur strategi, dan mempunyai visi ke depan untuk mencapai tujuan.
Luar Sekolah

Selama ini, di Indonesia, catur dipelajari anak-anak di luar pelajaran sekolah. Mereka belajar bermain catur dari teman, tetangga, kakak dan orang tuanya.

Beberapa anak juga ada yang dimasukkan ke klub catur atau sekolah catur dengan tujuan utama untuk meraih prestasi yang baik dalam pertandingan catur.

Kenyataan itu menggambarkan tidak semua anak mendapat kesempatan yang sama dalam belajar dan bermain catur. Jadi, pada akhirnya tidak semua anak bisa bermain catur.

Lain halnya, jika olahraga catur dimasukkan dalam kurikulum sekolah, hampir dipastikan semua anak bisa bermain catur dan bisa mendapatkan manfaat positif dari olahraga tersebut.

Yang perlu kita ingat, bermain catur bukan sekadar untuk menyalurkan hobi dan mendapatkan prestasi, tapi lebih dari itu bisa membentuk anak menjadi pribadi yang lebih unggul.

Mengingat nilai-nilai positif yang terkandung dalam permainan catur, sudah saatnya pemerintah untuk segera memasukkan cabang olahraga ini dalam kurikulum yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah formal di seluruh Indonesia. Semoga! (45)