Selasa, 25 November 2008

Keseimbangan Nasib Guru

Oleh Agus Mutohar
Pendidik, alumnus University of South Carolina AS.

SETIAP tahun Hari Guru diperingati pada 25 November; namun tampaknya keberpihakan nasib kepada guru masih rendah. Di Jawa Tengah. misalnya, saat ini ribuan guru sedang berjuang untuk mendapatkan kursi pegawai negeri sipil (PNS) lewat formasi pemerintah daerah (pemda) maupun Departemen Agama (Depag), walaupun dengan jatah yang sangat minim dibandingkan dengan jumlah pendaftar.

Itulah sebuah realita bahwa kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi wacana. Pun dengan munculnya program sertifikasi, masih memunculkan diskriminasi. Perbandingan 70 % sertifikasi untuk guru negeri dan 30 % untuk guru swasta adalah wujud nyata diskriminasi tersebut.

Seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang seimbang kepada guru swasta. Pasalnya, berdasarkan data di lapangan. guru swastalah yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih karena minimnya gaji yang diterima mereka.

Mendapatkan penghasilan Rp 500.000 per bulan merupakan hal yang sulit bagi guru swasta; mereka bak sales yang harus berpindah-pindah mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain. Bahkan ada juga yang berprofesi sebagai tukang parkir atau tukang ojek untuk menopang perekonomian keluarga.

Verbalisme dan sloganisme pahlawan tanpa tanda jasa juga berpengaruh kepada terpuruknya nasib guru. Guru dikesankan sebagai kelompok masyarakat yang melakukan pekerjaan dengan tulus, tanpa boleh menuntut hak dan kesejahteraan yang semestinya.

Kesejahteraan dalam arti luas bukan hanya persoalan gaji, melainkan lebih dari itu; juga menyangkut kelancaran dalam kenaikan pangkat, rasa aman dan nyaman dalam menjalankan profesi, kepastian karier, hubungan antarpribadi, dan perlindungan hukum.

Berkait dengan fakta tersebut , akhir-akhir ini kita sering melihat pemberitaan di media cetak maupun televisi adanya guru yang melaksanakan aksi demonstrasi untuk menuntut hak-haknya kepada pemerintah. Saat itulah, pemandangan ironis dipertontonkan. Guru harus berteriak-teriak menyuarakan nuraninya, bahkan karena luapan emosinya mereka banyak yang mencucurkan air mata sambil memanjatkan doa di depan pemerintah demi perbaikan nasib.
Sebagai sebuah profesi, sudah sewajarnya guru diperlakukan secara profesional sesuai dengan hak-hak profesinya, termasuk kesejahteraan. Namun demikian, sebagai sebuah profesi, guru juga harus menepati kewajiban-kewajibannya secara baik, penuh tanggung jawab, dan profesional.

Peningkatan Diri
Pakar pendidikan Arif Rahman dalam wawacancara ekslusif TV One, Minggu 23 November 2008, mangatakan bahwa tugas guru saat ini semakin berat. Selain dihadapkan kepada permasalahan moralitas siswa, guru juga dihadapkan kepada tuntutan akan kualitas pendidikan yang semakin tinggi.

Penelitian dari PISA (Programme for International Student Assessment) 2006 melaporkan, Indonesia mendapatkan peringkat ke-44 dari 56 negara berkembang dalam hal kemampuan penguasaan membaca, matematika, dan bahasa. Peringkat tersebut tergolong sangat rendah, terpaut jauh di bawah Malaysia, negara yang pernah mendatangkan guru-guru Indonesia beberapa dekade lalu.

Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia merupakan ”pekerjaan rumah” (PR) bagi guru. Pasalnya, pendidikan dan guru adalah dua komponen yang tak dapat dipisahkan.

Guru, dalam pandangan Paulo Freire, tidak hanya menjadi tenaga pengajar yang mengajarkan pengetahuan (kognitif), tetapi mereka juga harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural (cultural workers) dalam memperbaiki tatanan sosial yang ada.

Jika dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih baik.
Untuk tujuan itu, guru harus mulai berbenah diri meningkatkan kualitas kelimuan maupun meningkatkan integritas kepribadiannya lewat pendidikan maupun pelatihan-pelatihan.

Saat ini, dari sekitar 2,7 juta guru ada 1,7 juta yang belum terkualifikasi sarjana atau diploma empat (D-4). Dari jumlah itu, satu juta guru mengajar di sekolah dasar (SD) dan 173 ribu lainnya mengajar di madrasah ibtidaiyah (MI).

Sebanyak 723 ribu guru yang belum terkualifikasi berstatus guru swasta. Fakta tersebut semakin mengharuskan guru-guru di Indoensia untuk berbenah diri.
Guru memang bukan satu-satunya elemen penentu keberhasilan pendidikan, namun tidak berlebihan apabila dikatakan guru adalah kunci utama pendidikan.

Perubahan kurikulum dengan beragam julukannya CBSA, KBK, KTSP, atau apa pun merknya, tidak akan membawa perbaikan yang signifikan manakala guru tidak memahami dan menjalankan profesinya secara kreatif dan bertanggung jawab.

Guru adalah ujung tombak pendidikan, sementara birokrasi pendidikan hanyalah motivator untuk melejitkan kecerdasan dan kreativitas mereka. Guru yang cerdas dan kreatif tentu paham tentang hak kebebasannya berekpresi, sehingga tidak selalu dalam bayang-bayang kekhawatiran salah prosedur atau menyalahi standar birokrasi.

Untuk itu, guru harus mampu kreatif melakukan modifikasi pembelajaran di sekolah sehingga tidak berkesan hanya transfer pengetahuan (transfer of knowledge) saja, tetapi juga memperhatikan aspek emosional dan psikomotorik peserta didik.

Maju tidaknya kualitas pendidikan akan sangat menentukan kemajuan suatu bangsa. Professor Gregory Jay, pakar pendidikan dari University of Wisconsin, Milwaukee, Amerika Serikat (AS) mengatakan kepada saya saat diskusi September lalu, bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan (future investment). Bangsa yang tidak menanamkan pendidikan yang baik sekarang, akan mengalami kehancuran di masa-masa mendatang.

Semoga momentum 25 November menjadi tonggak kebangkitan dunia pendidikan kita, sekaligus perbaikan nasib para guru yang diiringi dengan peningkatan profesionalisme, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang maju di masa mendatang. Semoga!

[Wacana, Suara Merdeka, 25 November 2008]

Puisi-puisi Lina Nur Jannah

Lina Nur Jannah, lulusan MA Tasywiqul Banat, Robayan, kini mahasiswi Institut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Jepara.

Karena Mereka Lebih Tahu

aku tidak menangis
yang selama ini penuh teori, ternyata…
kosong belaka

mereka membuta sejadinya
termakan ego yang bengis oleh sekelumit perkara
saling mengadu dan menghasut
melepaskan tangantangan dengan amarah
menyebarkan serpihanserpihan racun dengan warna luka
menyerang…membalas
dan menumbangkan akar yang kritis

bukan hanya baju seragam
sebagai sorak dalam warna hidup
yang turut meramaikan panggung pendidikan
memang naluri menuntut keadilan
namun tidak sepatutnya untuk mengadili
tanamlah kebijaksanaan disana

mengatasnamakan kebersamaan


Debu

kau mudah terbawa tiupan angin
kemana arah ia pergi
disana kau membawa diri

kau sering terombang-ambing oleh bayu
tak mampu sejenak tenang dalam keberadaanmu
kau ada di sudut itu…
terbawa oleh kencangnya arus
kau ada ditempat dudukku
terbawa oleh hembusan semu
kau ada dibawah tempatku berdiri
terbawa oleh hembusan bayu
kau mudah tergoyahkan…


Sujudku PadaMu

percikan air menghangatkan hati
sehangat hari pagi karena sinar mentari
sujudku padaMu ya Rabbi
dengan segala kerendahan hati
aku serahkan diri yang hina ini

syukurku atas nikmatMu
yang tak pernah lekang termakan waktu
memberiku cahaya dalam gelapnya hidup
cahayamu lebih terang dari mentari
menembus ruang menerangi hati

ya Ilahi…
nikmat mana yang bisa aku lupakan?
dalam lelah aku berjalan
dalam diam aku bernafas
dalam fananya kehidupan
Kau berikan yang terbaik untukku
alhamdulillah…
puji syukur aku haturkan

Jumat, 21 November 2008

Puisi-puisi Nanik Kurniawati

Nanik Kurniawati, lulusan SMAN 1 Jepara kini mahasiswi tadris Matematika IAIN Walisongo, Semarang.

Ucapan Hati

Dalam diam ku berdo'a
Memanjatkan puja pada Yang Kuasa
Rintih hati meminta padaNya
Mengharapkan keajaiban kan tiba
Tuhan...
Berilah rahmatmu
Tunjukkan hidayahmu
Pada jiwa yang hina
Pada hidup yang lara

Alamku

Marahkah engkau padaku
kau tiupkan angin kencangmu
kau hempaskan banjir padaku
Saat hujan kau menangis sedu
Hingga semua kau bawa dalam larutan tangismu
Saat panas kau luapkan semua
Hingga bumi ini terasa panas tak terhingga
Atas nama kesalahan
kami ucapakan
Maaf pada pencipta alam

Rabu, 19 November 2008

Seperti Bulan dan Bintang

Cerpen Lasinta Ari Nendra Wibawa


Seperti bulan dia mendekap tubuhku
Membawaku ke dalam mimpi terindahku
Mampukah aku berpaling jauh darinya
Tanpa dustai cintaku untuk diriNya

Seperti bintang dia membelai hatiku
Merasuki tiap bilik dalam sukmaku
Mampukah aku meraih cinta kasihnya
Tanpa lukai cinta kasihku untukNya *

Seandainya kisahku dikemas dalam sebuah cerita, kuingin lagu "Seperti Bulan dan Bintang" karya Ari Nendra yang menjadi sound-tracknya. Kau tahu kenapa? Tidak lain karena reffrain lagu ini cukup mewakili kisah nyata yang aku jalani. Anehnya, kejadiannya sama dengan saat pembuatan lagu ini.

Saat itu, aku ditawari cinta oleh hari-hari yang lewat seperti biasa. Aku menyebutnya cinta kedua karena menurutku cinta pertama adalah dari sesosok wanita anggun yang senantiasa memberikan bunga kasih sayang dalam setiap denyut napasnya, menyambut kehadiran kita untuk pertama kalinya di muka bumi yang mulai renta, dan di bawah kakinya tercium aroma surga.

Tapi jujur, aku tak tahu itu cinta atau bukan karena cinta dan birahi hampir tak nampak tapal batasnya. Sama saja membedakan areal di tengah hutan yang dipisahkan oleh benang hitam jam dua belas malam. Meski hati kecilku mengatakan, "Cinta itu seperti jalinan antara daun dan
akar pepohonan. Jika suatu saat daun gugur, akar pepohonan akan merengkuhnya menjadi tunas-tunas sewarna harapan. Bukan malah membusukkan diri lalu terurai di perut bumi."

Entah kenapa saat itu waktu enggan mengulurkan tangan untuk semakin mengenalkanku pada aroma parfum yang dipakainya. Atau sekedar mengabadikan momen-momen penting
di mana ia mewarnai angkasa dengan senyumnya yang bermuatan cinta dan pesona.

"Aduh, manisnya", teriaknya saat ia mengamati kupu-kupu yang hinggap di atas kelopak bunga mawar di taman sekolah. Ia mengagumi sentuhan kupu-kupu yang lembut dan penuh cinta tanpa merusak putiknya. Ia tak menyadari kalau aku sedang mengamatinya lekat-lekat di atas balkon, di lantai dua dengan memendam rindu yang membukit dan mulai membatu.

"Wahai, kupu-kupu! Seandainya kau menjelma menjadi seorang manusia yang bersahaja sekalipun. Aku akan tetap berhasrat untuk merebahkan segenap kasihku kepadamu", ucapnya penuh makna. "Karena aku yakin kau pasti akan menjaga ikatan cinta tanpa menodainya seperti halnya lelaki di dunia ini. Aku telah menyaksikan nafsu-nafsu yang membara dalam diri
lelaki yang takkan mampu diredam oleh akal sehat manapun."

"Seandainya kau juga tahu akan kesunyianku di belantara kehidupan ini, kau pasti akan rela memberikan sepasang sayapmu untuk melepaskanku dari kenyataan yang menghampiriku dan membawaku terbang ke angkasa. Betapa kesunyian telah melekat dalam urat-urat nadiku,
kupu-kupu!. Aku telah kehilangan kasih sayang dari seorang bunda yang dulu tak pernah usai mengalirkan mata air cinta membasuh kepedihan-kepedihanku. Sedang ayah yang masih
tersisa untukku telah lalai dan larut dalam bisnis yang digelutinya. Mungkin, ayah berpikir bila harta mampu meniupkan kedamaian bagiku", ucapnya sambil menahan isak
yang hampir membuatku ikut menangis.

Sejenak ia mendongak ke arah barat. Matahari hendak berkemas untuk menghilang dari batas cakrawala, malam akan kembali bertahta. Aura sunyi pun bertiup penuh luka.

"Malam hampir memijakkan kakinya, kupu-kupu! Aku harus pulang sekarang. Tapi kamu janji, ya! Akan menemuiku lagi di taman ini."

"Mungkin, aku akan seperti matahari itu. Pernah berpendar di atas bumi namun akhirnya akan tenggelam dalam mimpi keabadian", bisiknya lirih. "Demikian juga denganmu, kupu-kupu". Setelah mengatakan kalimat itu, ia kemudian bergegas meninggalkan taman dengan langkah yang agak berat. Aku masih sempat melihat derum mobilnya menderu meninggalkan areal kampus.

Setelah peristiwa sore itu, aku tak pernah bersua lagi dengannya. Sampai kemudian aku mendengar burung gagak meniupkan sepenggal berita duka pada para kafilah bumi. Dan nama itu, nama yang dipilihnya adalah nama yang hampir terpahat indah dalam semenanjung hatiku.

Cukup lama mendung bergelayut di mataku. Hingga aku bisa memetik seuntai bias pelangi di antara hujan yang mewarnai hari-hariku. Mungkin, jika aku sempat mengajak mawar itu dalam pendakianku, durinya pasti akan merenggangkan pegangan tanganku. Seandainya kutinggalkan, pendakianku takkan nikmat karena wajahku akan selalu kutolehkan ke
belakang.

***

Sore itu, aku mendatangi taman di mana dulu ia bercakap-cakap dengan kupu-kupu. Kulihat kupu-kupu itu masih berkeliaran di sekitar taman. Ia kelihatan resah karena gadis yang dulu pernah bercakap-cakap dengannya tidak memenuhi janjinya. "Aku tahu aku bukan lelaki sebaik
yang ia mau. Namun, aku juga bukan lelaki seburuk yang ia tahu. Sampaikan salam hangatku untuknya', ucapku pada kupu-kupu itu. []

Lasinta Ari Nendra Wibawa (Ari Nendra). Selain menulis cerpen juga menulis puisi, artikel, esai, dan lirik lagu. Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media massa baik lokal maupun nasional, antara lain: Pena, MOP, Puitika, SOLOPOS, Suara Merdeka, ANNIDA, Kompas, dan puluhan website. Masih menjabat sebagai Redaktur majalah Teknik EUREKA dan majalah Teknik Mesin. Mahasiswa Semester 3 Prodi Teknik Mesin Universitas Sebelas Maret, Solo ini beralamat di Jln. Kerinci No. 5 RT 4 RW VI Demaan, Jepara 59419.

Sabtu, 15 November 2008

Puisi-puisi Lasinta Ari Nendra Wibawa

Lasinta Ari Nendra Wibawa, lulusan SMAN 1 Jepara, kini masih studi di Universitas Negeri Surakarta (UNS)

Semak Belukar

Lihatlah semak belukar itu, katamu
Sekilas tampak gelap dan menyeramkan
Dibanding padang rumput yang luas di sampingku
(Sesaat aku terdiam
mencerna kata yang mengalun dari bibirmu
laksana tanah gersang
merindukan hujan :
dan runtuhlah dinding nalar yang kubangun)

“Andai kau bisa melihat dari sisi lain
kau pasti akan temukan satu alasan
mengapa rusa senang berlindung di sana
dan bukankah di sana dia bisa bernaung
dari terik dan hujan
dari pemburu yang mengintai setiap saat ”

Jepara, 17 April 2007
[Harian SOLOPOS, 3 Juni 2007]


Cahaya Illahi

pada jiwa-jiwa yang terdampar
oleh buasnya alur kehidupan
kuingin kau menyaksikan petuah matahari
yang menyinari bumi sepenuh hati
kau lihat sinarnya yang menembus tumpukan daun kering
yang telah menjadi humus
dan membantu menyuburkan tanahnya
bukankah sebelumnya kau anggap dedaunan itu
adalah tumpukan sampah
dan pernahkah kau merasa
jika dirimu adalah daun-daun kering itu
namun pernahkah kau menyadari
jika cahaya Illahi lebih dari matahari
bahkan membantumu menjadi
tunas muda kembali

Surakarta, 30 April 2007.
[Harian SOLOPOS, 25 November 2007]

Jumat, 14 November 2008

Secuil Asa

Cerpen Syaiful Mustaqim
Pembina ekstrakulikuler Jurnalistik Madrasah Aliyah (MA) Walisongo Pecangaan

KISAH ini menceritakan sekelumit perjalanan seorang manusia dalam menggapai cita-cita. Dia berusaha melawan arus yang ada di masyarakat untuk meraihnya. Ada hal penting yang bisa kita ambil di sini.

Jam di dinding kamarku menunjukkan pukul 05.3o. Aku bergegas bersiap-siap pergi ke sekolah. Sekolahku lumayan jauh, kira-kira ditempuh dalam waktu seperempat jam. Bangun pagi-pagi menjadi jadwal harianku. Semenit telat bisa-bisa aku kena hukuman, entah berdiri didepan tiang bendera, bersih-bersih toilet siswa, dan seabrek hukuman yang lain. Begitulah keseharianku.

Hari ini aku sangat gelisah, pelajaran hari ini adalah pelajaran yang paling ku benci, sulit, dan tak akan pernah aku pahami. Selain itu, guru-gurunya pun terkenal killer. Aku bertambah takut. Berderet pelajaran hari ini, Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Kimia. Ah, aku nggak tahan, jika setiap hari aku harus mengkonsumsi sarapan pelajaran yang mengerikan itu.

Saat masuk kelas XI, aku tak punya impian untuk memilih salah satu jurusan. Ilmu Bahasa, Ilmu Alam, dan Ilmu Sosial. Semuanya tak ada yang cocok denganku. Akhirnya, aku hanya ikut-ikutan dengan temen-temenku kelas X dulu. Jurusan ilmu alam-lah yang aku pilih, walaupun sebenarnya aku sangat muak dengan pelajaran-pelajaran itu. Setiap hari bisa dipastikan akan ketemu dengan pelajaran-pelajaran eksak.

Aku paling kontra dengan guru-guruku, walau hanya dengan suara hati. Aku tak berani mengungkapkannya terang-terangan. Bagaimana tidak? Masa rumus-rumus dan segala tetek bengeknya itu harus dihafal semua. Belum lagi, setiap hari aku harus menghafal kosakata-kosakata Inggris maksimal 10 kata tiap hari. “Untuk apa semua itu?” hujatku.

Banyak para pengangguran di negeri ini, adalah hasil dari produk-produk pendidikan yang belum siap pakai. Pendidikan selama ini hanya berkutat untuk mencari nilai, nilai, dan nilai, tanpa memikirkan hal lain. Hasilnya, setelah dapat nilai bagus dan ijazah, mau cari pekerjaan kemana? Sedangkan lapangan susah didapatkan. Tak mungkin, setelah lulus SMA, bagi yang tak mampu melanjutkan studi, tetek bengek itu akan bisa berguna.

Kalaupun berguna, bisa dipastikan hanya satu persen, lainnya berupa skill dan ketrampilan. Namun, selama ini guru tak pernah mengomongkan itu, sejak menginjak dua tahun di bangku SMA aku tak pernah diajari dengan ketrampilan yang memadai. Aku sering dijejali dengan seabrek rumus-rumus. Apalagi aku, setelah lulus nanti, tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.

Ya, aku malu dengan orang tuaku. Hampir belasan tahun aku telah menghabiskan sebagian hasil jerih payah mereka untuk biaya sekolah, namun hasilnya masih saja nol. Aku belum bisa membalas semua jasa-jasanya yang selama ini mereka berikan. Apalagi ayahku seorang buruh pabrik, dan bundaku seorang penjahit. Usia mereka sudah semakin senja. Sekarang di gubukku, aku hanya sendiri ditemani ayah dan bunda. Mereka hanya mempunyai penghasilan sangat pas-pasan. Malah kadang-kadang kurang.

Sejak dulu, aku memang sudah tak ingin sekolah, namun mereka memaksaku untuk tetap sekolah dengan biaya yang pas-pasan. Mereka berharap aku bercita-cita setinggi langit, tidak seperti mereka. Bagiku, sekolah hanya akan mencetak calon-calon pengangguran intelek. Lihat saja mayoritas penduduk negeri ini, mereka adalah pengangguran-pengangguran terdidik. Tak banyak mereka yang mempunyai pekerjaan yang layak. “Apa bedanya sekolah dan tidak?” pikirku.

Aku tak ingin mengecewakan mereka. Masuklah aku ke bangku SMA. Apa yang terjadi? Otakku yang serba pas-pasan sulit memahami pelbagai pelajaran. Setiap kali pelajaran, sulit aku memahaminya. Aku sering tak sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan guruku, aku hanya diam seribu bahasa.

***

Satu keinginanku. Aku ingin menjadi penulis. Namun, pelajaran bahasa Indonesia yang berhubungan erat, tak pernah menyinggung tentang profesi itu. Pelajaran bahasa Indonesia hanya sebatas teori, praktiknya nol. Tapi apa daya, jika aku protes guru pasti marah besar, bisa dipastikan nilaiku merah, dan aku akan di black list.

Tak banyak sosok Soe Hok Gie yang berani memprotes guru karena takut tidak dinaikkan. Begitu juga guru, tak sedikit yang mau menerima protes dari anak didiknya.

Tanpa pikir panjang, cita-citaku ingin menjadi penulis harus dijalani secara otodidak. Namun, aku yakin suatu saat akan berhasil dengan gemilang. Tak pernah terlewatkan aku sering membaca edisi remaja mingguan di pelbagai macam jenis koran di koran dinding yang ditempel di perempatan kecamatan. Selain itu, karena uang sakuku yang serba pas-pasan, jadi hanya mampu membaca majalah di loper koran tanpa membelinya. Aku terkagum-kagum dengan siswa sekolah lain yang karya-karyanya sering nongol di media.

Aku iri. Kapan aku bisa laiknya mereka? Apalagi tak pernah ku jumpai penulis asli dari daerahku. Padahal, konon daerahku mempunyai ribuan sekolah. Hampir di setiap desa, dan kecamatan bisa ditemukan sekolah berdiri. Tapi tak satupun ku dapati mereka yang asli daerahku, tulisannya nongol di media.

Aku sedih, aku pun semangat. Sedih karena tak ada guru yang memberikan support anak didiknya agar bisa menulis, padahal itu lebih manfaat. Semangat. “Ini adalah tantanganku, agar aku bisa menjadi seorang penulis.” Inginku.

Berderet alamat redaksi tertata rapi di salah satu buku tulisku. Aku berharap suatu saat tulisanku akan dimuat, seperti mereka. Aku ingin mengharumkan nama sekolah, dan daerahku, walaupun nantinya pemkab tidak memberiku apa-apa. Tapi tak apa. Aku tetap semangat untuk selalu menulis.

Jika ku ingat, berulang kali aku telah mengirim tulisan ke pelbagai media, namun tak pernah ada jawaban dari redaksi kalau tulisanku hendak dimuat. Kusimpan rapi naskah-naskah yang pernah ku kirimkan ke media. Barangkali aku bisa belajar dari kegagalan-kegagalan itu, dan aku pun bisa memperbaikinya.

Kadang aku sudah putus asa. Lha wong aku tidak pernah di ajari pelajaran jurnalistik (tulis menulis) secara kontinyu, apa aku mampu berkompetisi dengan mereka? Kebanyakan dari mereka, di sekolahnya diajari ilmu jurnalistik yang memadai, selain itu setiap kali menghadirkan wartawan dari pelbagai media untuk menambah wawasan, dan turut mengisi tentang ilmu jurnalistik.

***

Pagi ini, kembali aku menulis kembali dari sebuah asa untuk barpartisipasi membangun daerah lewat menulis. Aku hanyalah insan yang tak pernah belajar bagaimana cara menulis yang baik dan benar maupun yang sesuai EYD. Aku anak dari kalangan menengah kebawah. Aku yakin, yakin dan yakin kalau suatu saat akan berhasil.

Ini adalah karyaku yang ke sembilan puluh sembilan kali. Aku tak banyak berharap tulisanku akan dimuat. “Semoga karyaku dimuat,” do’aku. Namun ini adalah bagian dari ikhtiarku. Sehingga secuil asaku benar-benar menjadi kenyataan. Amin.

[Cerpen, Kartunet.com, 05 Maret 2008]

Senin, 10 November 2008

Puisi-puisi Muhammad Asy'ari

Muhammad Asy'ari, pembina teater Epos [SMAN 1 Pecangaan, Jepara]

Bukit Cadas

bukit cadas kini hilang di telan bumi
tak tahu siapa melukainya
semua bungkam
memejamkan mata
meninggalkan luka
demi kenikmatan fatamorgana
dan kini bukit cadas
hanya bisa menangis
menangis seserpih debu
pun tumbang segala harapan
bukit cadas semenjanjung utara
masa depanmu ditangan MEREKA


Lelaki di atas Trotoar

demi anakanak sungai
kau alirkan sejuta puisi
menjejaki loronglorong
mencari cahaya
membujuk bulan
lekat dengan debu
setelah malam bawakan rindu
lelaki di atas trotoar
kini kau dimakan usia


Bocahbocah di bawah terang bulan

sorak sorai bocahbocah
di kesunyian malam
bermainlah
lepaskan tawa canda
kejarlah masa depan
mengaliri sungaisungai
jadikan surgawi
menarilah
seperti ilalang di pematang sawah
bergoyang melambai-lamabai
bocahbocah polos di kesunyian malam kini kau hilang rupa

Jumat, 07 November 2008

Puisi-puisi Lasinta Ari Nendra Wibawa

Lasinta Ari Nendra Wibawa, lulusan SMAN 1 Jepara, kini masih studi di Universitas Negeri Surakarta (UNS)

Merintis Gerimis

dalam diam aku mendekam
antara ngarai dan tebing curam
bersama luka lintasi malam
sesaat muka aku tengadah
memuja malam berakhir indah
namun asa tinggalah punah
sewaktu badai mulai mendesah
dan adakah udara kebebasan
yang masih sempat aku rasakan
di antara langit yang bergelora
oleh mega-mega nestapa

padamu langit warna kelabu
kumohon jawab pertanyaan kalbu:
mengapa kini aku merintis
dalam hari penuh gerimis?”

Jepara, 20 April 2007
[Harian SOLOPOS, 3 Juni 2007]


Pelayaran Terakhir

inilah kali terakhir aku berlayar
setelah mengarungi buas samudra dalam jiwa yang bergejolak
mengenang kembali tiap detik perjalanan
yang melekat erat dalam tingkap-tingkap kalbu
yang tanpa sadar telah mengantarku di ambang batas
di mana nahkoda harus merapat ke dermaga
meninggalkan bunyi gaduh
dari ombak yang menghantam lambung kapal
hingga setiap perjalanan hanya akan menjadi cerita
yang tak akan pernah habis
bagi anak cucu

Surakarta, 2 Mei 2007
[Harian SOLOPOS, 25 November 2007]

Minggu, 02 November 2008

Puisi-puisi Akhmad Syafiq

AKHMAD SYAFIQ, Pembina teater Tekad Kap's [SMAN 1 Mayong, Jepara] dan teater Embun [MTs-MA Al-Falah Margoyoso, Kalinyamatan, Jepara]

DO'A

Tuhan...
Dosa siapa yang Kau tanamkan di ufuk timur?
Tidak cukupkah air mata kami?
Tidakkah Kau lihat derita kami?
Sampai kapan ini semua akan berakhir?


LUKA

Namaku luka terlahir dari air mata
Sakit dan perih terlanjur ku nikmati
Suara tak lagi bisa berkata
Mata tak lagi bisa merekam
Telinga tak lagi bisa menjaring aksara
Inikah kenikmatan neraka tertinggi?


HESA

Dengan cinta aku menyapamu
Dengan rindu aku memelukmu
Dengan kasih aku membelaimu
Tapi dengan apa aku mati untukmu?