Jumat, 12 Desember 2008

Merindukan pendidikan berkarakter

Oleh Agus Mutohar
Pengamat pendidikan, alumnus University of South Carolina

Akhir-akhir ini dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng. Ratusan mahasiswa Universitas 45 Makassar terlibat tawuran dengan aksi lempar batu sesama mahasiswa pada Senin 3 November. Kemudian terjadi bentrok mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makasar pada 17 November kemarin.

Sepertinya bukan hanya kelompok preman yang tergolong dalam kaum anarkis. Pelajar dan mahasiswa kini juga banyak yang anarkis karena memanfaatkan cara-cara kekerasan untuk melampiaskan emosi dan ide-idenya.

Mahasiswa yang terlibat bentrokan tersebut tak ubahnya seperti anak-anak. Bentrokan yang dilakukan merupakan cerminan belum adanya sikap dewasa dalam diri pelaku.

Sikap kekanak-kanakan yang dimiliki pelaku menjadikan para pelaku tidak mengedepankan hati nurani serta akal jernih. Emosi mudah sekali meledak hanya karena ejekan atau provokasi yang tidak ada gunanya.

Sayangnya para pelaku membawa identitas mahasiswa yang notabenenya merupakan kaum intelek, kaum terpelajar. Kaum yang mengenyam pendidikan hingga tingkatan tinggi dalam strata pendidikan formal.

Nilai luhur pendidikan akan menjadikan seseorang yang dididik memiliki akhlak yang baik, kemandirian, dan kedewasaan tampaknya kini menjadi jargon belaka. Ini menjadi bukti bahwa sistem pendidikan Indonesia masih gagal membentuk pelajar dan mahasiswa yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Serentetan fakta akhir-akhir ini cukup menjadi bukti bahwa ada kesalahan dalam sistem pendidikan kita. Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan sudah seharusnya mencermati betul permasalahan ini.

Evaluasi dan tindakan cepat harus segera dilakukan untuk mengantisipasi kasus-kasus serupa. Bagaimana mungkin Indonesia akan mencapai visinya pada tahun 2020 yakni ingin mewujudkan masyarakat Indonesia yang bersatu jika pada saat ini mahasiswa dan pelajarnya saja masih tawuran.

Pendidikan karakter
Sekolah dan kampus merupakan institusi yang memiliki tugas penting bukan hanya untuk meningkatkan penguasaan keilmuan saja, tetapi juga bertugas dalam pembentukan kapasitas moralitas anak didik.

Tahun 1990-an bangsa Amerika mengalami kegagalan dalam pengelolaan moral anak didik yang ditandai dengan demoralisasi yang semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan kenyataan itulah maka pada tahun 1992 para ahli pendidikan, pemimpin remaja, dan sarjana etik yang menaruh perhatian pada kondisi ini melakukan pertemuan di Aspen, Colorado dan menghasilkan deklarasi Aspen yang mencetuskan adanya pendidikan karakter (character education). Semenjak itu diberlakukan pendidikan karakter sebagai solusi terhadap penyakit masyarakat Amerika.

Di Indonesia, pendidikan agama telah di ajarkan di sekolah-sekolah, namun pendidikan moral masih berjalan di tempat dibuktikan dengan adanya konflik horizontal yang semakin meningkat.

Dilihat dari penerapannya pendidikan agama tampaknya masih bermuara pada dasar-dasar agama sehingga mengabaikan kandungan nilai-nilai dan akhlak.

Pendekatan yang dipakai dalam pendidikan agama pun masih berpusat pada ranah kognitif dan banyak menekankan hafalan, penguasaan materi tanpa menyentuh perasaan, emosi dan nurani peserta didik.

Berkaca pada permasalahan-permasalahan yang sering terjadi dalam dunia pendidikan, kita harus memberi perhatian lebih pada pendidikan karakter.

Pendidikan karakter mempunyai tujuan bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya.

Orang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang yang berkaraktek jelek, sementara orang yang berperilaku jujur, suka menolong dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia.

Paradigma pendidikan karakter ini sebaiknya diadopsi di Indonesia. Pendidikan karakter akan menumbuhkan kecerdasan emosi siswa yang meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain.

Beberapa tolok ukurnya adalah memiliki pengendalian diri, bisa menjalin relasi, memiliki sifat kepemimpinan, bisa melobi, dan bisa mempengaruhi orang lain.

Mahasiswa dan pelajar yang kecerdasan emosionalnya tinggi memiliki beragam alternatif bahasa untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan manusia lain, termasuk dengan seseorang yang dianggap musuh.

Sebaliknya, mahasiswa dan pelajar yang kecerdasan emosionalnya rendah hanya punya satu bahasa: takut atau justru sebaliknya, tawur. Mereka juga tidak bisa membedakan musuh.

Mahasiswa dan pelajar akhir-akhir ini menjadikan tolok ukur seseorang dianggap kawan atau musuh adalah komunitas dan seragamnya. Siapapun dia, asalnya dari mana, jika berasal dari komunitas lain maka harus dimusuhi.

Bagaimanapun juga karakter para mahasiswa dan pelajar sangat menentukan karakter bangsa yang merupakan aspek penting dari kualitas SDM karena kualitas karakter bangsa menentukan kemajuan suatu bangsa. Daniel Goleman mengungkapkan bahwa kemampuan untuk menguasai emosi (kecerdasan emosi) yang merupakan buah dari pendidikan karekter lebih menentukan hasil pendidikan dari pada kemampuan intelektual.

Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak di bangku sekolah dan kuliah.

Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan membimbing mahasiswa dan pelajar dalam mengatasi konflik kepribadian sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial kelak.

Semoga saja tawaran solusi itu bisa untuk mengurangi tawuran di dunia pendidikan sekaligus mengembalikan citra pendidikan Indonesia menjadi tempat memanusiakan manusia (humanizing human being). []

[Opini, Wawasan 03 Desember 2008]

0 komentar: