Minggu, 13 Februari 2011

Trafficking ibarat Gunung Es

Suara Merdeka, 13 Februari 2011

Kita
dikejutkan oleh adanya berita mengenai kasus perdagangan manusia (trafficking) di Jepara, beru-baru ini. Untung, Polres Jepara berhasil membongkar jaringannya.

Senin petang, 24 Januari 2011, aparat keamanan berhasil meng­hentikan mobil di pertigaan Gotri, Kecamatan Kalinyamatan, pukul 13.30, yang berpenumpang empat pe­rempuan yang rencananya dipe­ker­jakan sebagai pekerja seks ko­mersial (PSK) di Palembang, Sumatera Selatan. Keempat perempuan itu, dan sepasang suami istri yang diduga sebagai penyalur, diamankan polisi.

Kasus trafficking juga terjadi beberapa hari sebelumnya di Kudus. Bahkan yang memperihatinkan, korbannya adalah dua anak yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jajaran Polres Kudus berhasil membongkar jaringannya pada 19 Januari. Petu­gas me­nang­kap korban dan kliennya saat se­dang ngamar di salah satu hotel di Kudus, sekitar pukul 16.00 WIB. Seorang induk semang dan dua orang pe­rantaranya juga ditangkap.

Pembongkaran dua kasus tersebut bisa jadi merupakan fenomena kecil dari fenomena besar perdagangan manusia di daerah ini, karena jaringan ini selalau bergerak dengan cara tersembunyi. Ibarat gunung es, kasus yang terbongkar oleh polisi mungkin baru sebagian kecil dari keadaan yang se­nya­ta­nya.

Hal ini bisa terjadi mengingat kasus serupa juga sudah pernah terbongkar dua tahun se­belumnya. Waktu itu, 18 Januari 2009, Polres Kudus berhasil menyelamatkan lima perempuan yang dipekerjakan sebagai PSK di lokalisasi Pang­kalan Bun, Kali­mantan Tengah.
Enam pelaku diamankan, empat di antaranya berasal dari Kudus, yang berperan sebagai pencari korban dan dua orang berperan sebagai otak pela­ku yang berasal dari Kali­mantan.

Sementara itu, Pada 5 Mei 2008, Polres Jepara juga berhasil menggagalkan perdagangan perempuan sebagai pekerja seks komersial (PSK) di Jambi, tepatnya di lo­kalisasi Kota Baru. Empat perempuan menjadi korban. Polisi meng­amankan seorang tersangka saat membawa para korban ke daerah tujuan di jalur Keling-Kelet. Para korban dinaikkan Isuzu Panther. Tersangka tertangkap setelah polisi menerima laporan dari keluarga korban. Selanjutnya, anggota Pol­res Jepara berkoordinasi dengan Polsek Keling untuk mengejar dan menangkap mereka.
Para korban mengaku tidak tahu akan diperkerjakan sebagai PSK, sebab dijanjikan sebagai pekerja di sebuah kafe di Jambi.

Mereka juga mengaku tidak begitu mengenal tersangka, sebab keempatnya hanya ditawari mendapatkan pekerjaan dan diberi upah Rp 500.000 tiap bulannya.

Sebelum direkrut, korban di­datangi perantara dengan mena­wari pekerjaan di luar Jawa. Setelah satu per satu setuju, mereka dijemput hari Minggu untuk bertemu dengan pelaku. Namun, dalam perjalanan menuju Pati, laju mobil yang membawa para korban berhasil dihentikan polisi, tepatnya di Pasar Keling.

Waspada
Terungkapnya beberapa kasus trafficking itu, baik yang terjadi di Kudus, maupun di Jepara, telah mengundang keprihatinan berbagai pihak. Para orang tua, terutama yang memiliki anak gadis, diminta waspada dari tindak kejahatan perdagangan orang, lewat modus ta­waran kerja, dengan gaji tinggi.

”Untuk melancarkan aksinya, pelaku biasanya mendatangi rumah calon korbannya dengan menawar­kan pekerjaan. ” Pada saat pembe­rangkatan, mereka tanpa dilengkapi surat keterangan dari pemerintah desa setempat,kata Kabid Per­lin­dungan Perempuan dan Anak pada Jaringan Perlindungan Pe­rempuan dan Anak (JPPA) Kudus, Endang Erowati.
Menurutnya, hal itu untuk meng­hilangkan kecurigaan sejumlah pihak, termasuk memberi ke­mudahan kepada keluarga korban untuk dapat diterima kerja tanpa harus mengurus sejumlah surat kelengkapan kerja di luar daerah.

Berdasarkan penelusuran tim JPPA terhadap korban trafficking, ternyata orang tua korban memang termakan bujukan pelaku untuk tidak memedulikan aturan atau kelengkapan surat-surat kerja. ”Se­bagian besar, orang tua juga meng­ikuti saja kehendak pelaku,” ujar­nya.

Endang mengimbau kepada orang tua untuk tidak mudah terbujuk pada tawaran kerja dengan gaji tinggi. Selain itu, kalaupun ada tawaran pekerjaan bagi anaknya, setidaknya memberitahukan kepada pemerintahan desa setempat.
”Setidaknya, jika terjadi hal-hal yang tidak baik, mudah diusut,” ujarnya.

Ketika jaringan perdagangan anak di Kudus terbongkar Januari lalu, Kapolres Kudus AKBP R. Slamet Santoso didampingi Kasat­reskrim AKP Suwardi mengungkapkan bahwa jaringan ini terstruktur dan rapi.
Pihaknya mengimbau agar orang tua selalu memantau keberadaan anaknya, baik di sekolah, maupun sepulang sekolah.

”Kami mengindikasikan, masih banyak kasus seperti ini yang belum tercium petugas. Untuk itu, kami berharap kepada masyarakat yang mengetahui kasus seperti ini, langsung melaporkannya ke petugas yang berwenang supaya segera ditindaklanjuti,” imbaunya.

Kadisdikpora Kabupaten Ku­dus, Sudjatmiko, mengharapkan semua pihak agar tidak melihat kasus perdagangan anak di Kudus sebagai sebuah gambaran umum wajah edukasi di Kota Keretak ini. Satu hal yang pasti, melalui kejadian tersebut diharapkan menjadi pembelajaran bagi semua pihak agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

”Kepada setiap sekolah, kami sudah menginstruksikan agar dapat memberikan tambahan kegiatan agar siswa dapat disibukkan dengan hal-hal yang sifatnya positif,” ung­kap­nya.
Hal senada juga dikemukakan salah seorang pendidik SMP, Basuki Sugita. Menurutnya, semua pihak tentu tidak dapat cuci tangan begitu saja pada kasus tersebut.

Pemerhati masalah sosial dari Universitas Muria Kudus (UMK), Mochamad Widjanarko, menyebut kasus perdagangan anak perempuan yang masih duduk di bangku SMK itu tidak dapat diselesaikan secara sepotong-sepotong. Banyak pihak yang harus memberikan kontribusinya, mulai dari orang tua, pen­didik dan masyarakat. (Anton W Hartono, Mauham­mad Ali -24)

0 komentar: