Suara Merdeka, 04 April 2011
Oleh Trisno Yulianto
LEDAKAN reaktor nuklir Fukushima, Jepang, akibat gempa beberapa waktu lalu meningkatkan radiasi 1.000 kali di atas ambang batas normal. Kebocoran reaktor akibat tekanan gempa bumi membuat guncangan dahsyat di pusat reaktor nuklir.
Ada pelajaran penting di balik ledakan reaktor itu bagi Pemerintah Indonesia yang (melalui rencana strategis Batan) berkeinginan membangun PLTN di Ujungwatu, Jepara. Pertama, Jepang yang merupakan negara berkemampuan teknologi, kedisiplinan dalam pengelolaan produk teknologi, minim korupsi saja tak bisa memprediksikan dan menjaga keamanan reaktor nuklir akibat bencana alam. Seberapa kuat dan kompeten ilmuwan, teknokrat, dan birokrat ilmu pengetahuan Indonesia bisa menjamin keselamatan masyarakat dan keamanan reaktor nuklir?
Akuntabilitas Diragukan Pembangunan PLTN di Indonesia yang direncanakan di lepas pantai Jepara, konon, akan menghabiskan alokasi anggaran Rp 80 triliun. Skema pembangunan PLTN dirancang atas estimasi anggaran yang diragukan akuntabilitasnya oleh publik. Karena, kultur perencanaan anggaran adalah penggelembungan dan dalam praktik direduksi untuk ongkos politik dan birokrasi. Jika akuntabilitas anggaran pembangunan PLTN diragukan, bisa dibayangkan bagaimana kualitas PLTN yang akan dibangun. Apakah bisa dijamin tak bakal bocor dan aman sesuai dengan rencana?
Kedua, Jepang membangun PLTN untuk memproduksi energi listrik industrial. Jepang miskin sumber daya alam, sedangkan Indonesia kaya sumber daya alam tetapi selama 40 tahun lebih tak mampu mengeksplorasi dan mengeksploatasi untuk kepentingan masyarakat. Alternatif selain PLTN bisa berupa tenaga panas bumi, panas matahari, angin, yang selama ini mengalami pembiaran inovatif. Pembangunan PLTN yang tetap diskenario pemerintah dan akan dibangun ketika resistensi masyarakat mengendur lebih didasari kepentingan orientasi proyek. Bukan kepentingan rakyat.
Ketiga, area pembangunan PLTN yang konon tetap diprioritaskan di Jawa dengan sasaran utama pantai utara memiliki zona kerawanan ekologis. Riset analisis dampak lingkungan calon lokasi yang dinyatakan aman dari guncangan gempa bumi diragukan berbagai ahli geologi independen. Sebab, Pulau Jawa tidak merupakan zona steril dari ancaman gempa, gelombang tinggi, dan berbagai deformasi ekologis lain.
Kebocoran reaktor nuklir berdampak ekonomis, kemanusiaan, dan lingkungan. Ledakan dan kebocoran PLTN Chernobyl di Ukraina, Uni Soviet, 26 April 1986, adalah model kebencanaan akibat terbakar dan melelehnya pusat reaktir nuklir. Bencana itu merenggut korban ribuan jiwa. Gas radiokatif mencemari udara, air, tanah bukan hanya di zona bahaya inti gas radioaktif, melainkan menyebar ke berbagai kawasan di Rusia dan Belarusia. Gas radiasi mencemari tanah subur, yang baru pulih dan terbebas dari pencemaran zat radioaktif setelah 30 tahun.
Isu Nasional Upaya membangun PLTN sering diletupkan jadi isu nasional di tengah kemeretasan isu krisis energi. Dalam berbagai pertemuan ilmiah, sosialisasi program, serta diskursus media, upaya membangun PLTN seolah ditempatkan sebagai satu-satunya solusi mengatasi krisis energi yang diprediksi menimpa Indonesia beberapa tahun ke depan. Padahal, krisis energi itu sebenarnya disebabkan oleh peningkatan permintaan dan salah kelola manajemen energi puluhan tahun. Permintaan meningkat bukan untuk menyubsidi kepentingan masyarakat banyak, melainkan oleh kerangka politik industrial yang promodal dan investasi asing.
Pembangunan PLTN di berbagai negara maju selama ini secara makro tak bermasalah, kecuali beberapa tragedi di Rusia, China, Jepang, dan AS. Namun kesiapan infrastruktur keilmuan, transparansi tanggap bencana, kesiagaan birokrasi, serta pemenuhan jaminan keamanan masyarakat di negara yang memproduksi energi dari reaktor nuklir cukup memadai. Adapun Indonesia, negara yang masih termasuk 10 besar terkorup di dunia, PLTN bisa saja menjadi bencana bagi publik dan berkah bagi penguasa dan birokrasi.
Pembangunan dan pengelolaan PLTN memerlukan biaya mahal dan produksinya menghasilkan dana melimpah. Namun, apakah PLTN kelak tidak menjadi bagian dari proyek korupsi baru dengan label ilmu teknologi modern? Kompetisi tenaga ahli nuklir di Indonesia pun patut diragukan karena belum terdidik dalam aktivitas kerja keilmuan dan praksis operatif PLTN secara langsung. Jika masa transisi mendatangkan tenaga ahli (konsultan) asing, bisa dihitung berapa ongkos yang dibutuhkan.
Pembangunan PLTN di Indonesia adalah buah simalakama kegagalan rencana eksplorasi, eksploitasi, dan manajemen sumber daya energi sejak Orde Baru hingga kini. Pemerintah acap mencari jalan pintas dengan mengadopsi teknologi pemroduksi energi dan melupakan unit kreativitas teknologi yang memiliki nilai kearifan lokal. Cetak biru pembangunan reaktor nuklir (PLTN) di Indonesia, yang konon mendapat restu Badan Atom Dunia (IAEA), tak menyentuh tuntutan publik. Tak ada garansi politik, ekonomi, ekologi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjamin keselamatan masyarakat serta kelestarian PLTN.
Meski Batan dan pemerintah meretorikakan ìmenjaminî, publik tetap meragukan. Sebab, dalam kasus lumpur Lapindo saja pemerintah gagal mengimplementasikan resolusi alam, ekonomis, dan kemanusiaan, bagaimana dengan PLTN? Bukankah kultur politik penguasa sejak 40 tahun lalu lebih senang menjadikan rakyat eksperimen dan tumbal kebijakan politik pembangunan? (51)
Senin, 04 April 2011
PLTN dan Risiko Multisosial
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar