Senin, 01 Juni 2009

Pembangkitan Olahraga Bahari

Oleh Muh Khamdan
Peneliti Paradigma Institute dan bekerja di BPSDM Depkumham RI

POTRET Kota Jepara dalam olahraga nasional sementara baru tampak dari cabang olahraga sepak bola setelah Persijap saat ini ikut bertengger dalam Indonesia Super League (ISL) serta Copa Indonesia. Sangat mengejutkan karena secara realitas meninggalkan kota-kota sekitar yang baru merebut divisi utama atau divisi di bawahnya.

Namun betapa akan lebih memberi implikasi baik jika segmen olahraga bahari juga dibangkitkan dan menjadi target pemberdayaan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara.

Bayangkan saja, Jepara daratan memiliki 72 km bentangan pantai berpasir putih, belum termasuk gugusan 27 pulau dari Kepulauan Karimun Jawa yang memiliki karakteristik beragam. Hal demikian membuat Jepara berpotensi menjadikan olahraga bahari sebagai salah satu industri olahraga raksasa di wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa.

Penetapan olahraga bahari sebagai salah satu industri olahraga raksasa bukan tidak mungkin terwujud. Tidak perlu ada pembangunan stadion yang mewah sebagaimana stadion Gelora Bumi Kartini (GBK), tetapi model olahraga bahari justru menghubungkan antara kealamian lingkungan dengan nilai-nilai sportivitas.

Bagi penikmat olahraga bahari, salah satu kebutuhan pertandingan adalah kebutuhan kepuasan batin dengan panorama kebaharian, baik terkait daratan laut seperti pantai atau angin laut maupun perairan berupa ombak, flora, dan fauna laut.

Gagasan pemberdayaan olahraga bahari ini juga telah menjadi program pemberdayaan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), sebagaimana dikemukakan MB Zubakhrum Tjenreng, Deputi Pengembangan Industri Olahraga, bahwa sport fishing akan dikampanyekan sebagai industri kreatif di bidang olahraga bahari (MI, 22/5).
Pemberdayaan Ekonomi
Dalam keterikatan aspek olahraga ini, sport fishing yang identik dengan memancing akan mampu mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir karena terkait pada penyediaan perahu atau kapal sewaan sekaligus pemandu daerah pembiakan ikan, sehingga membuka lapangan kerja baru.

Kemiskinan yang masih diidentikkan pada masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir secara umum sangat terkait dengan kualitas pengelolaan sumber daya kelautan.

Dalam paparan Riza Damanik, Sekjend Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, dalam hari nelayan (Kompas, 6/4), kebijakan perikanan dan kelautan belum menempatkan nelayan sebagai elemen penting perekonomian nasional sehingga terkesan membiarkan nelayan mencari penghidupannya sendiri.

Selama ini masyarakat pesisir lebih terfokus pada pencarian sumber daya ikan sebagai konsumsi, padahal pada masa tertentu justru tidak bisa melaut yang berakibat pada munculnya masa paceklik dan menempatkan 90 persen nelayan tetap hidup miskin. Kualitas pengelolaan itu mesti diubah.

Tentu saja untuk keperluan tersebut, diperlukan adanya perencanaan terpadu atas tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan demikian mesti memperhatikan pemahaman potensi wilayah sehingga dapat dilanjutkan pada tahapan kegiatan konstruksi karena ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mudah berubah secara sporadis karena alam dan perbuatan manusia.
Ada tiga potensi pembangunan bahari yang nantinya dapat dirancang secara berkesinambungan.

Pertama, sumber daya dapat pulih (renewable resource) yang terkait flora dan fauna serta unsur pendukung.

Kedua, sumber daya tidak dapat pulih (non-renewable resource) yang terdiri atas unsur-unsur bahan mineral, seperti pasir bijih besi termasuk pasir putih. Ketiga, jasa lingkungan (environmental services) yang mengedepankan kreativitas pengelolaan sehingga tidak berhenti pada konsumsi ‘’mentah’’ dari laut.

Salah satu substansi yang menjadi konsiderans Manado Ocean Declaration (MOD) sebagai hasil dari 75 negara yang hadir di World Ocean Conference (WOC) pada 11-15 Mei, adalah agar terjadi partisipasi untuk tidak melakukan eksploitasi berlebihan terhadap laut.

Maka, pemberdayaan olahraga bahari menjadi keniscayaan karena ramah lingkungan dan justru mampu memberikan hasil optimal dalam pengelolaannya. Karena itu perlu ada pendekatan interdisiplin ilmu melibatkan berbagai bidang ilmu, seperti ekologi, ekonomi, teknik, sosiologi, hukum, antropologi, dan lainnya.

Dalam kampanye sport fishing yang dilakukan oleh Kemenpora, tercatat pada 2009 ini akan dilaksanakan kegiatan lomba memancing di berbagai daerah, dari Makasar (Sulawesi Selatan), Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Lombok (Nusa Tenggara Barat), dan Manado (Sulawesi Utara).

Untuk mengimbangi pelaksanaan kegiatan tersebut, tentu bukan suatu hal yang sulit dilaksanakan di Jepara karena memancing hampir sudah menjadi budaya masyarakat, terutama menyangkut promosi Kepulauan Karimunjawa.

Sementara dari aspek olahraga fisik, Pantai Bondo yang juga dikenal sebagai Pantai Ombak Mati layak dikembangkan sebagai gelanggang olahraga bahari Jepara. Bukan rahasia lagi, pasir putih yang dimiliki dengan hamparan daratan yang cukup datar secara luas mendukung keterwujudan lapangan voli pantai dan cabang-cabang olahraga yang lain.

Kekuatan bahari sebagai potensi yang besar di Jepara mesti diberdayagunakan agar bermunculan atlet-atlet daerah yang bisa berkontribusi dalam mengembalikan supremasi olahraga Indonesia.

Efek sampingan dengan adanya gelanggang olahraga bahari di Jepara tentu menjadikan kota ini diperhitungkan. Alangkah majunya jika Pemkab Jepara mampu mengembangkan sektor olahraga bahari guna menyambut kampanye Kemenpora tentang sport fishing, terlebih dengan telah dilaksanakannya Festival Internasional Pemuda dan Olahraga bahari (FIPOB). Sebelum terlambat mari berbenah bersama. (35)

Sumber : Suara Merdeka, 01 Juni 2009