Kamis, 17 Maret 2011

Pelajaran dari PLTN Fukushima

Suara Merdeka, 17 Maret 2011

Oleh Sahala Hutabarat

PERDANA Menteri Jepang Naoto Kan dalam konferensi pers awal menyatakan tidak ada kebocoran akibat gempa berkuatan 9 Skala Richter (SR) terhadap bangunan PLTN Fukushima, tetapi kenyataannya terjadi kebocoran pada 3 reaktor nuklir. Waktu itu, lebih dari 200 ribu orang diungsikan ke zona aman, radius 20 km dari pusat pembangkitan energi tersebut. Ledakan hidrogen kali kedua, kembali terjadi Senin lalu dan mencederai 11 pekerja. Bahkan radiasi radioaktif sudah terdeteksi oleh kapal induk AS (SM, 15/ 03/11).

Meskipun Jepang telah 165 kali mengalami gempa sejak 1800, kejadian pada 11 Maret 2011 itu adalah yang terhebat dalam sejarah kegempaan di negara itu dan dunia. Pada 1 September 1923 Negeri Matahari Terbit itu juga mengalami salah satu gempa bumi hebat (7,9 SR) pada abad ke-20, yang dikenal sebagai gempa bumi Great Kanto. Gempa itu menghantam dataran Kanto, menghancurkan Tokyo dan beberapa bagian Yokohama, dan menewaskan hampir 140 ribu orang.

Terkait dengan gempa yang diikuti tsunami di Jepang itu, sebagaimana di Aceh tahun 2004, seharusnya Pemerintah Indonesia memetik pelajaran dari Jepang dalam mempersiapkan diri menghadapi gempa melalui standar keamanan yang sangat tinggi. Sejak dini, penduduk dilatih mengatasi keadaan darurat, khususnya menghadapi gempa dan tsunami. Bahkan infrastruktur publik dikembangkan sedemikian rupa sehingga walaupun terjadi gempa berkekuatan 7-8 Skala Richter, kerusakan yang diakibatkan relatif minim.

Namun apa yang diperhitungkan manusia secara teliti dan cermat, seperti pembangunan PLTN Fukushima yang dipersiapkan dan dikelola secara baik itu tidak bisa mengalahkan kekuasaan Tuhan. Konstruksi itu tetap tidak bisa menahan gempa, akibatnya terjadi ledakan diikuti kebocoran yang mengakibatkan radiasi radioaktif pada skala 4 dalam skala 0-7.

Tingkat radiasi ini berbeda dari kebocoran di PLTN Chernobyl Rusia tahun 1986, yang mencapai skala 7 dan menewaskan sedikitnya 4 ribu jiwa, dan menghancurkan seluruh fauna dan flora sehingga daerah tersebut tidak diperbolehkan ditinggali karena sudah terpapar radiasi nuklir.

Kemampuan insinyur Jepang juga sangat mumpuni dalam membuat bangunan tahan gempa karena mereka sadar negaranya rawan gempa. Dalam sejarah kegempaan di negara lain, gempa berkekuatan 7-7,5 SR bisa meluluhlantakkan bangunan dan infrastruktur. Namun Jepang membuktikan mampu meminimalisasi kerusakan akibat gempa besar seperti pada 11 Maret lalu.

Risiko Mahal Kerugian akibat gempa pasti sangat besar tetapi di balik itu banyak hal yang dapat dipelajari, utamanya kesiapsiagaan darurat bangsa Jepang yang terbukti efektif dalam mengantisipasi dan mengatur keadaan darurat, khususnya dalam menghadapi gempa dan tsunami. Masyarakatnya tidak terlalu panik menghadapinya.

Berkaca pada bencana gempa besar yang diikuti tsunami di Jepang pada 11 Maret lalu, marilah kita menarik pelajaran,
sekaligus meninjau ulang rencana pembangunan PLTN, baik di Semenanjung Muria Jepara, Banten, maupun di Provinsi Bangka Belitung (Babel). Perlunya mengkaji ulang rencana itu mengingat risikonya bila terjadi kebocoran dari reaktor pembangkitan itu, terkait gempa.

Ketiga provinsi itu belum pernah mengalami gempa tektonik, tetapi harus diingat bahwa Indonesia berada di atas lempengan tektonik yang sewaktu-waktu dapat bertubrukan dan menimbulkan gempa yang diikuti tsunami. Sejarah membuktikan bahwa gempa berulang kembali pada kisaran 140-150 tahun akibat pergerakan lempeng tektonik antara 1,5 dan 7,5 cm tiap tahun.


Pada sisi lain, pemanfaatan nuklir untuk pembangkitan energi sesungguhnya sangat mahal ditinjau dari teknologi dan biaya pembangunan reaktornya (belum lagi risikonya jika terjadi kebocoran) ketimbang pemanfatan sumber energi lain seperti gas, batu bara, atau panas bumi yang relatif lebih murah dan di Indonesia potensinya berlimpah.

Marilah kita belajar dengan menimba pengalaman dari gempa dan tsunami di Jepang, supaya kita lebih berhati-hati menentukan program pembangunan nasional dengan selalu memperhatikan kondisi sumber daya alam, letak geografi, kesiapan SDM dan masyarakat, serta penerapan teknologi yang tepat. (10)

0 komentar: