Rabu, 09 Juli 2008

Setelah Penutupan Lokalisasi Pereng

Oleh M Abdullah Badri
Direktur Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) IAIN Walisongo, Aktif di Replica.com Semarang dan Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS)

LOKALISASI memang tak kenal ruang dan waktu. Dimanapun dan kapanpun, prostitusi selalu menjadi problem sosial. Begitu juga lokalisasi di desa Pereng, yang terletak di kecamatan kota Jepara. Sejak dulu, nama Pereng memang terkenal dengan sebutan sebagai kampung remang-remang. Kendati rumah yang dijadikan pelacuran disana terbilang sedikit, hanya ada 14 penginapan.

Namun citra negatif Pereng kian membuat warga setempat gerah. Setelah berjalan berpuluh-puluh tahun disana, kini bisnis esek-esek itu mulai mendapat gugatan serius dari warga. Setelah membangun kesepakatan dengan unsur pemerintahan desa, RT, RW, BPD dan tokoh masyarakat sekitar, warga setempat mendesak kepada para penghuni lokalisasi untuk segera keluar dari wilayah yang terletak di RT I-RW IV, Dukuh Bugel, Desa Mulyoharjo itu.

Alasan yang dilontarkan adalah masalah citra dan moral. Para sesepuh desa memprihatinkan lokalisasi Pereng yang kian tumbuh subur akibat apatisme warga. Akhirnya, citra Pereng sebagai “tempat peristirahatan surgawi” para lelaki hidung belang belum hilang hingga kini. Bahkan semakin menemukan eksistensinya.

Dulu, di Desa Semat, kecamatan Tahunan, ada tempat lokalisasi, namun kini sudah tidak ada lagi. Begitu juga mucikari Kasbola, kini suaranya tak begitu nyaring terdengar di telinga masyarakat Jepara. Dukuh Krapyak RW 16 juga sempat dikenal sebagai kawasan kupu-kupu malam, namun kini telah “dibersihkan”.

Keberhasilan menutup lokalisasi di beberapa tempat di Jepara tersebut itulah yang ingin ditiru dan diulang kembali oleh warga Pereng. Pada mulanya, warga memberikan kesempatan kepada para penghuni lokalisasi yang kebanyakan berasal dari penduduk luar Pereng, untuk keluar dari tempat tersebut sebelum tanggal 1 Juni 2008. Namun warga memberikan toleransi hingga tanggal 1 Juli 2008, sebelum menutup paksa (Suara Merdeka, 25/06).

Masa Depan Pekerja Pereng
Warga Desa Mulyoharjo ingin membersihkan secara total nama desa dari bisnis haram itu. Tuntutan mereka hanya satu, menutup rapat pintu prostitusi. Mereka tidak mau tahu dengan nasib para tuna susila yang “bekerja” disana. Sehingga, mereka tidak bertanggungjawab terhadap masa depan pekerjaan para wanita malam pasca penutupan. Inilah yang menjadi Problem.

Disatu sisi, penutupan lokalisasi memang upaya positif yang perlu didukung bersama. Namun disisi lain, jika penutupan itu tanpa dibarengi dengan upaya-upaya membangun kondisi yang berkeadilan terhadap “para pekerja”, tentu kebijakan amar ma’ruf nahi munkar itu akan timpang. Bahkan berpotensi menimbulkan problem susulan.

Sebaiknya, penutupan itu diimbangi dengan jaminan masa depan ekonomi para mantan pekerja disana, bukan membiarkan tanpa arah. Memang, dalam pandangan masyarakat luas, mereka dianggap sampah, namun mereka juga bagian dari saudara kita yang membutuhkan kehidupan yang layak. Mereka melakukan itu termasuk salah satu faktornya adalah untuk memenuhi hajat hidup, kendati dalam pandangan orang lain, pekerjaan yang mereka lakukan keluar dari pakem moral.

Bukan berarti saya menolak aksi penutupan lokalisasi, namun hanya ingin mengatakan bahwa sejarah hidup para pekerja pasca penutupan, perlu kita perhatikan bersama.

Sebelum penutupan tersebut, ada baiknya para sesepuh mendekati para pekerja disana. Perlu ada penyuluhan tentang pentingnya nilai-nilai moral ketimuran yang kita junjung. Meskipun tindakan yang mereka lakukan itu adalah sebuah pilihan hidup, namun kita harus menyadarkan bahwa masih banyak pilihan lain yang dapat ditempuh. Para tokoh agama juga diharapkan ikut andil dalam upaya membangun kesadaran religius mereka.

Saya belum mengetahui apakah desakan penutupan lokalisasi Pereng sudah didahului dengan sebuah penelitian atau belum. Namun, bagi saya, sebuah kebijakan itu mesti harus diadakan penelitian terlebih dahulu.

Kalau memang terindikasi merugikan masyarakat, baik dalam tataran nilai atau struktur sosial, maka menolak penutupan bukan langkah yang bijak. Misal, jika para pekerja disana terbukti banyak mengidap virus HIV/AIDS, maka langkah penutupan adalah sebuah keharusan.

Contoh lain adalah jika para pekerja itu terbukti menimbulkan citra negatif akut terhadap kehormatan masyarakat desa, sehingga para warga Pereng terganggu akses sosialnya, misalnya ada penolakan total lamaran pekerjaan oleh sebuah perusahaan tertentu kepada warga yang ber-KTP Pereng.

Jika memang temuan penelitian demikian, maka penutupan tersebut menjadi sebuah keharusan, karena telah membawa kerugian kepada warga setempat yang sebenarnya hanya menjadi korban pencitraan.

Penelitian diperlukan untuk mengetahui akar masalah dan bagaimana cara mengatasinya di kemudian hari. Tidak terbatas pada prospek para pekerja, tapi juga penduduk sekitar.

Saya khawatir, jika rencana positif warga Mulyoharjo tidak disertai dengan upaya memikirkan masa depan ekonomi para pekerja Pereng, justru akan menimbulkan gesekan negatif yang lebih besar. Karena mantan pekerja itu tidak segera mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak, bisa jadi mereka akan menjajakan diri, lari ke luar kota.

Akhirnya, -seperti yang saya temukan pada sebuah kawasan remang-remang di Kota Semarang-, orang Jepara ada yang menjadi pelaku bisnis “privat room” itu. Bahkan salah seorang warga sekitar mengatakan bahwa para pekerja wanita disana banyak yang berasal dari Jepara. Nah!

Sebenarnya, para pekerja tuna susila itu adalah aset, yang jika dimanfaatkan dan diarahkan dengan baik akan berkontribusi besar terhadap pembangunan sosial. Kita bisa meniru apa yang dilakukan seorang tokoh ulama Jepara: mendiang KH. Mawardi, Bugel, Kedung, yang menyadarkan banyak kupu-kupu malam di daerah Jepara. Mbah Mawar –sapaan akrab Kyai Mawardi- menutup pintu prostitusi bukan dengan mengusir para pekerjanya, namun dengan mendekati dan membimbingnya. Sehingga, mereka tidak putus harapan. Lalu bagaimana dengan Pereng? Apa yang akan terjadi setelah penutupan lokalisasi disana? []

0 komentar: