Minggu, 31 Agustus 2008

Baratan; Serpihan Budaya Jepara

Oleh Zakki Amali*


Berbagai daerah di Jawa mempunyai tradisi unik menjelang Ramadhan yakni nyadran atau ruwahan, salah satunya Baratan. Tepatnya tanggal 15 Syakban, merujuk astronomi Jawa gubahan Sri Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma, Raja Mataram Islam, di Kecamatan Kalinyamatan Jepara diadakan festival Baratan.

Belum ada sumber (buku atau penelitian) mengupas masalah Baratan. Setidaknya kita dapat menengok kebelakang melalui folklor, tradisi (cerita) lisan, yang berkelindan di masyarakat Jepara. Dari sana tergurat dua versi cerita.

Pertama, berawal dari kisah kedatangan Sultan Hadirin, dulunya bernama Raden Thoyyib. Oleh Karena kehadirannya di Bumi Kartini, dia berjuluk Sultan Hadlirin (Arab: hadlara: hadir, tiba). Dia meninggalkan Tiongkok dan pergi mengembara. Dalam pengembaraannya dia sampai di Jepara.

Begitu mempersunting Retno Kencono, dia langsung mendampingi Sang Ratu sebagai Adipati Jepara. Sudah menjadi kebiasaan zaman dulu, pengembara, apalagi suami seorang punggawa, Sultan Hadirin menunggang kuda dengan diiringi para pengawal dalam sebuah perjalanan peperangan.

Suatu ketika tibalah dia di Desa Purwogondo (sekarang berada di pusat Kecamatan Kalinyamatan). Tiba-tiba kuda yang ditumpanginya lari kencang menghilang, sehingga para pengawalnya pun kehilangan jejak tuannya. Kemudian dia dicari warga desa menggunakan lampu Impes (lampion), sejenis lampu tradisional seperti lampu teplok dengan bahan bakar minyak. Meskipun malam hari, waktu itu angin malam sangat bersahabat, bahkan nyaris tak ada angin yang biasanya berhembus kencang dari barat. Sultan Hadlirin akhirnya dapat ditemukan hanya dengan menggunakan lampu tradisional tersebut.

Kejadian itu lantas dilestarikan menjadi acara adat bernama Baratan, dari kata barat (maksudnya tak ada angin dari barat saat mencari Sultan Hadirin).

Versi Kedua, menurut para ulama acara adat Baratan tersebut merupakan bagian dari cara para ulama dahulu dalam mengisi keutamaan bulan Syakban.

Baratan berasal dari kata bahasa Arab baraatan (terbebas) dari dosa. Mereka memperingatinya dengan cara berkumpul bersama, mengadakan selamatan dengan menyajikan puli, makanan dari ketan. Kata puli konon berasal dari bahasa Arab 'afwu lii (maafkan aku). Karena acara tersebut dimaksudkan untuk memohon ampunan dari Allah SWT agar terbebas dari dosa.

Festival Baratan dimeriahkan pawai oleh anak-anak, maupun orang dewasa dengan membawa mobil-mobilan, terbuat dari bambu dan papan, disampuli dengan kertas warna-warni. Selain itu, Impes tidak ketinggalan menghiasi jalan-jalan pedesaaan.

Pada atap mobil-mobilan, dibuatkan lubang, fungsinya untuk memberikan jalan asap dari lilin yang dipasang di dalamnya agar tidak membakar kertas yang menghiasinya. Tradisi ini dilaksanakan di malan 15 Syakban dengan rute mengelilingi desa.

Biasanya penjual mobil-mobilan sudah ada kira-kira seminggu sebelum acara. Harga yang dipatok penjual relatif terjangkau mulai dari 5000-15.000 untuk ukuran kecil dan sedang. Bentuknya pun bervariasi, menyerupai bus, mobil sedan, dan kapal, dan lain-lainnya.

Bagi yang berkocek tebal, pembuat menerima pesanan, harganya mengikuti model yang dipesan. Ini mempunyai kelebihan, bentuknya lebih bagus dan mendetail. Harganya bisa mencapai ratusan ribu, tergantung tingkat kesulitannya. Penjaja ube rampe baratan ini dapat dijumpai di pasar, seperti pasar Mayong, Kalinyamatan, dan Pecangaan.

Solikul Huda warga Desa Branang Kecamatan Mayong Jepara menuturkan, kekhawatirannya akan antusiasme masyarakat yang menurun. Menurutnya dari tahun ke tahun ghirah (semangat) warga berpartisipasi menurun. Ini dilihat dari sisa mobil-mobilan yang dijualnya beberapa tahun lalu. Jika demikian, ia rela memberikan barang dagangannya kepada orang lain. "Kalau pada sore harinya masih sisa mending dikasihkan, dari pada nganggur di rumah ".

Terancam Punah
Baratan adalah sebuah tradisi yang tidak dipunyai oleh daerah lain. Tradisi yang mempunyai dimensi relegius sekaligus ekonomi. Sangat disayangkan jika perkembangan Baratan mengalami kemandekan. Festival baratan lalu (16/08/08) di Kalinyamatan terkesan "kering". Agenda pelestariannya biasa-biasa saja. Hanya terlihat arak-arakan ala kadarnya dengan peserta yang sedikit.

Seiring perputaran zaman, festival Baratan akan kehilangan "obor", jika tidak digarap serius. Perlu diadakan agenda khusus sehingga baratan bukan hanya sebuah tontonan namun juga menjadi sebuah tuntunan.

Baratan termasuk gugusan khazanah budaya Jepara yang tinggal meregang nyawa, menyusul budaya jawa lainnya yang telah termakan zaman. Sayangnya, hidup atau mati budaya itu kita yang menentukan dan mengusahakannya, mustahil budaya itu hidup sendiri mencari bapak asuh. Kecuali ada "dermawan" yang mengadopsinya. []

ZAKKI AMALI, peneliti di Lembaga Studi Sosial Budaya Sumur Tolak Kudus

0 komentar: