Rabu, 17 September 2008

Ketika Orang Miskin Jadi Dermawan

Oleh KAWE SHAMUDRA

Anggota Komunitas Pena Batang

PENCAIRAN dana bantuan langsung tunai (BLT) yang diperuntukkan bagi warga miskin sebagai hadiah dari pemerintah pusat (setelah sukses menaikkan harga BBM) ternyata sanggup menghadirkan fenomena unik dan menggelitik. Tiba-tiba banyak orang miskin di berbagai daerah yang jadi “dermawan”. Mereka rela menyumbangkan sebagian uangnya untuk kepentingan sosial. Nilainya tidak tanggung-tanggung, mencapai 30%. Dari dana yang diterima dari kantor pos sebesar Rp. 300 ribu, yang dikantongi sendiri cuma Rp. 200 ribu, sedangkan yang Rp100 ribu diserahkan kepada warga lain yang tidak mendapatkan jatah BLT.

Itulah sisi lain dari realisasi program BLT yang terjadi di berbagai daerah. Aksi menyumbang massal itu dikoordinir oleh perangkat desa setempat dengan alasan pemerataan dan keamanan. Makna pemerataan dan keamanan di sini adalah agar warga miskin yang tidak mendapat kartu BLT bisa ikut mencicipi dana hibah itu sehingga suasana menjadi aman dan tidak menimbulkan kecemburuan. Kita tahu, ketika program BLT pertama kali digulirkan, di berbagai daerah terjadi kekisruhan yang berujung pada tindakan anarkhi. Aparat desa menjadi sasaran demo warga.

Inisiatif pemotongan dana BLT sebenarnya datang dari pihak perangkat desa sendiri setelah melihat kenyataan bahwa tidak semua warga miskin di wilayah kerjanya mendapat dana BLT. Karena mereka protes dan minta jatah, maka diambillah jalan tengah. Warga penerima BLT dikumpulkan dan diajak musyawarah. Setelah diberi penjelasan (pengertian), maka terjadilah kesepakatan pemotongan itu dan ditanda-tangani beramai-ramai. Orang-orang miskin diajak untuk bersikap realistis agar mau berbagi kepada sesama.

Rakyat miskin kini memang sedang menjadi lahan proyek bagi-bagi uang. Mereka didata, diberi kriteria, dicatut namanya, dan diberi hadiah. Pemerintah pusat menyerahkan dana BLT lewat kantor pos. Warga miskin menerima dana BLT secara utuh, tetapi pihak perangkat desa merasa perlu untuk menghimbau agar warga penerima BLT tidak menelan seluruh bantuan yang diterima, tetapi sebagian harus diberikan pada warga miskin lain agar tidak terjadi diskriminasi yang berujung pada pertikaian.

Himbauan tersebut diamini warga dan mereka -- entah dengan terpaksa atau tidak -- mau menyerahkan sebagian dana BLT kepada perangkat desa setempat melalui ketua RT, lantas dibagikan kepada warga lain yang mengaku miskin tetapi tidak mendapat kartu BLT.

Tunduk
Salah satu karakteristik umum warga masyarakat, khususnya di pedesaan, adalah sikap patuh pada pemimpin (sang pamong). Mereka gampang diajak kompromi untuk tujuan-tujuan tertentu. Karakter penurut ini sudah mengakar begitu kuat secara turun temurun dan merupakan bagian dari tradisi gotong-royong. Dalam kondisi sesulit apapun, mereka mau berkorban, apalagi sekadar mengurangi jatah sumbangan hibah yang bisa diperoleh tanpa harus peras keringat.

Cara berpikir linear semacam itu tidak lepas dari kondisi warga miskin yang serba lemah dan nyaris tanpa bargaining. Mereka tidak berani menolak hasil kesepakatan karena takut dikucilkan. Mereka pun rela untuk mencuil sebagian hak pribadinya untuk kepentingan sesama. Nurani orang miskin ternyata lebih gampang tersentuh untuk mendermakan sebagian rejekinya. Dana sebesar Rp. 300 ribu begitu penting bagi warga miskin yang sedang dihimpit kesulitan, tetapi mereka mau mengorbankan Rp 100 ribu untuk menyumbang yang lain.

Inilah sebuah pesan moral yang pantas didengar semua pihak. Dalam kondisi susah dan terjepit, ternyata warga miskin masih sanggup mengikis egoisme dan mau membagi-bagikan kebahagiaan bagi orang lain. Pengorbanannya begitu besar untuk sebuah solidaritas sosial.

Mereka tidak berpikir untung-rugi. Lihatlah mereka rela antre dan berpanas-panasan di halaman kantor pos penuh leleran keringat saat menunggu giliran mendapatkan dana BLT. Wajah-wajah mereka yang memelas dipertontonkan di muka umum. Setelah uang diterima, sebagian disumbangkan untuk yang lain.

Kedermawanan merupakan sebuah sikap mental yang dapat diukur lewat kesadaran batin untuk memberikan sesuatu yang dimiliki dan dicintai, bisa dalam wujud harta, tenaga, maupun pikiran. Tetapi persoalannya jadi aneh ketika orang-orang miskin justru berderma dengan uang, harta satu-satunya yang sangat dibutuhkan untuk menyambung hidup. Ini sama artinya mengurangi sesuatu yang sudah minus.

Tetapi itulah fakta. Sesuatu yang tidak bisa dicegah meskipun di belakang layar harus ada pihak yang menggerutu dan menganggapnya tidak adil. Memang terkesan aneh dan tidak wajar, orang miskin yang hidupnya sudah susah masih dihimbau untuk berderma.

Coba bandingkan dengan sikap orang-orang kaya di negeri ini yang memiliki aset pribadi milyaran rupiah, apakah yang sudah mereka perbuat untuk masyarakat? Mampukah mereka menandingi kedermawanan orang-orang miskin?

Barangkali kedermawanan warga miskin yang tampak saat ini merupakan sebuah sindiran dari Tuhan agar orang-orang kaya di negeri ini merasa risih dan malu karena sudah kalah dengan kedermawanan orang-orang miskin. []

[FORUM, Kompas Jateng 13 September 2008]

0 komentar: