Sabtu, 25 Oktober 2008

Bunga dari Jepara

Cerpen LUBIS GRAFURA
www.lubisgrafura.co.cc


Europese Lagere School (ELS), Jepara, 1891

GEMERISIK daun bambu diterpa angin pagi menanggalkan beberapa helai daun keringnya. Helai-helai daun itu menikmati masa terakhir di udara sebelum jatuh ke tanah. Dan, ada sehelai daun yang tersangkut dahan sebelum luruh bukan ke atas tanah, melainkan di rambut seorang gadis yang tengah berlari.

“Letsy, tunggu!”

Seorang gadis berlari setelah ia membuang daun kering yang luruh di atas kepalanya. Jarit yang membebat tubuhnya hampir tak bisa dikatakan ia tengah berlari. Sementara temannya yang berambut pirang menunggu di depan.

“Letsy, kita duduk di sana yuk bercerita-cerita”

Keduanya memilih duduk di bawah pohon waru yang rindang. Rerantingnya berdesik. Menciptakan hawa semilir di bawahnya. Letsy mengeluarkan bukunya. Sementara dirinya memandang aneh kepada sahabatnya akrabnya itu.

“Letsy ceritakanlah sesuatu kepadaku”

Letsy membuka bukunya. Namun bukan buku cerita yang ia tunjukkan kepada gadis pribumi itu, melainkan buku pelajaran bahasa Perancis. Gadis pribumi itu masih menunggu jawaban dari sahabatnya itu.

”Ni,” Kata Letsy ”Aku sekarang harus menghafal pelajaran Perancis”

“Ah, itukan dapat kau kerjakan di rumah, sebab itu bukan pekerjaan sekolah.”

“Benar katamu Ni, tapi kalau saya tidak belajar bahasa Prancis baik-baik, dua tahun lagi saya belum boleh pergi ke negeri Belanda. Karena saya ingin masuk sekolah guru. Kalau kelak nanti saya tamat, barangkali saya akan ditempatkan di sini. Dan saya tidak akan duduk di dalam kelas, tetapi di depan kelas. Nah, sekarang katakan kepadaku Ni, kamu kelak ingin jadi apa?”

Sepasang mata gadis Jawa itu menatap dengan penuh rasa heran. Sebab, yang baru saja terucap dari bibir karibnya itu sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Dan hati kecilnya membenarkan apa yang ditanyakan oleh sahabatnya. Ingin jadi apakah dirinya?

“Ayolah Ni katakan sekarang.”

Letsy mendesak Ni dan menggoyang tangan karibnya yang masih mematung. Gadis pribumi itu memutar otaknya, mengumpulkan seluruh tenaganya. Menyusun kata-kata untuk menjawabnya, tapi sia-sia. Ia tak kunjung mendapatkan jawabannya.

“Ayolah. Kau ingin jadi apa?”

Tanda masuk kelas sudah dibunyikan, sementara Ni belum juga menemukan jawabannya. Ni kecil sungguh tak memiliki jawaban untuk pertanyaan sesederhana itu. Dengan nada yang polos dan penuh kejujuran ia menggelengkan kepala sambil berkata pendek.

“Tidak tahu.”

***

”Tidak tahu?”

Ni bertanya pada cermin. Ia melihat wajah yang tampak begitu bodoh. Betapa tidak, otak yang bersemayam di dalam kepalanya tidak bisa menjawab pertanyaan yang sederhana. Pertanyaan itu tak kunjung juga berlalu. Hampir setiap malam sebelum dirinya tidur, pertanyaan itu selalu dipikirkannya. Begitu pula saat sepasang matanya yang masih sayu menatap fajar, pertanyaan itu juga tak kunjung pudar.

”Hendak jadi apakah aku?”

Ni kembali bertanya kepada cermin di depannya. Pertanyaan itu seharusnya tak menjadi mendung untuk pagi-paginya. Tapi, gadis seusianya musti menanggung pertanyaan sederhana yang hampir tak dapat ditemukan jawabnya.

Ia masih ingat kemarin, saat ia sepulang sekolah, ia segera menemui ayahnya. Nafas Ni membuat dadanya turun naik, sebab ia berlari tanpa henti dari sekolah menuju rumah. Hanya ingin mendengar jawaban dari ayahnya.

“Hendak jadi apakah aku nanti ayah?”

Dengan penuh harap cemas, Ni kecil menunggu jawaban ayahnya. Ayahnya tidak mengatakan sesuatu. Beliau hanya tersenyum dan mencubit pipi Ni. Namun, gadis Jawa itu tetap merengek-rengek meminta jawaban dari sang ayah.

“Harus jadi apakah gadis-gadis? Ya, menjadi Raden Ayu, tentu saja.”

Jawaban itu keluar begitu saja dari sepasang bibir. Tapi, itu bukan kata-kata milik ayahnya. Perkataan itu adalah milik kakaknya yang kebetulan mendengar pertanyaan Ni. Kakaknya menghampiri Ni dan mengatakan sekali lagi bahwa Ni kelak akan menjadi Raden Ayu yang memiliki budi pekerti dan nilai-nilai perempuan yang berderajat.

”Raden Ayu?,” Tanya Ni kepada cermin kembali ”Apa enaknya jadi Raden Ayu?”

“Ni, Letsy sudah menunggumu!”

Ada suara ibunya di balik pintu kamarnya. Ni segera merapikan dandannya. Ia tak mau Letsy menunggu dirinya terlalu lama. Tapi tentu saja ia tidak akan mengatakan kepada karibnya bahwa dirinya kelak akan menjadi Raden Ayu. Ni memilih menyimpannya.

***

Ni memilih menyimpan semua keinginannya dalam hati. Air matanya mengiringi mimpi-mimpinya yang baru saja dikubur. Dan harapannya tinggal nisan bertuliskan kepupusan. Ni benci menjadi dewasa, sebab dewasa hanya akan membuatnya menderita.

Hal yang membuatnya menderita adalah ketakutannya. Ketakutan akan sebuah pintu kamar menguncinya dari luar. Menjauhkannya dari buku-buku. Menjauhkan dari segala kehausan akan ilmu. Ni musti menghadapi kenyataan. Sebuah pingitan.

Ni kecil kemarin berjalan dari sekolah ke rumah untuk terakhir kalinya. Matanya menjadi basah. Hatinya piluluka. Bibirnya mengatup kering dan gemetar. Tapi apa yang dirasakan oleh gadis polos kecil itu tak dapat disembunyikan lagi. Kedua matanya terlalu muda untuk menyimpan air mata. Ia uraiakan air mata itu sebisanya. Dia sadar, bahwa dengan tertutupnya pintu sekolah, berarti segala sesuatu yang dicintainya juga telah tertutup.

Sementara, pikiran kritis yang pernah diajarkan oleh pikiran Barat telah meletup-letup bersemangat, tetapi pada kedua tangan dan kakinya terbelenggu oleh rantai budaya Timur. Sedangkan otot-ototnya sangat lemah. Ia belum sanggup melepaskan diri dari belenggu yang mengikat itu. Kini pintu sekolah sudah tertutup rapat di belakangnya, sedangkan pintu rumahnya terbuka lebar untuk dirinya. Ia akan berada di sana selamanya. Ruangan itu juga kelak akan menjadi dunianya, alam semestanya yang dikelilingi oleh tembok tebal. Ia musti menikmati dunianya dalam sangkar.

Hari-hari Ni adalah hari-hari yang suram dan dia harus melaluinya. Seolah pasir waktu itu tersendat dan berhenti mengalir. Baginya matahari tak pernah bersinar mengisi pagi-paginya. Namun, diantara kebosanannya melihat lingkungan yang sama, orang-orang yang sama, Ni Kecil mendapatkan sedikit hiburan ketika Letsy datang mengunjunginya. Ia merasa menjadi Ni Kecil yang dulu lagi. Menjadi masa anak-anak yang penuh dengan kegembiraan. Ia melupakan pingitan yang senantiasa membelenggu dirinya.

Tentu saja Letsy tidak akan berlama-lama disangkarnya. Titik terang itu kembali padam. Kini di matanya hanyalah kegelapan dan belenggu itu makin kuat mengikat dirinya. Hidup yang penuh dengan kebosanaan itu akan terus berlangsung dan makin sunyi. Namun, sunyi itu pula yang mengajarkan Ni tetap terus membaca. Membaca dan memetik detik kehidupan yang terus mengalir bersama surat-suratnya.

Holland, 7 Juni 1898.

…Ni, Anda adalah pelopor semangat muda wanita bangsamu. Lebih dari itu Andapun telah meretas jalan kemuliaan rakyat sini…Ya Ni, kudoakan semoga Anda bisa merealisasikan apa yang selama ini hidup sebagai buah mimpimu….

Ni melipat surat yang baru saja diterimanya. Lantas, ia melihat dunia luar lewat jendela. Ada angin yang menerpa rambut di keningnya. Ni berharap apa yang ada di surat itu benar. Sepertinya ia sudah tahu hendak jadi apakah dirinya. Ia hanya ingin menjadi wanita yang dihargai. Hanya itu, tidak kurang dan tidak lebih. []

Terinspirasi dari Surat Abendanon, 2008

0 komentar: