Minggu, 12 Oktober 2008

Polesan Film Laskar Pelangi

Oleh Heri Priyatmoko

Peneliti di Kabut Institut, Solo

Daun kalender menunjuk angka 25 September 2008. Di bioskop terlihat berderet antrean panjang pengunjung di depan loket bak antrean BBM di SPBU menjelang kenaikan harga. Karcis laris manis bagai kacang goreng. Kursi bioskop terisi penuh. Sudah diprediksi, pemutaran perdana film Laskar Pelangi (LP) bakal meledak. Ternyata benar, ratusan orang tidak mau melewatkan film yang dibesut oleh Riri Reza dan Mira Lesmana tersebut. Apresiasi publik cukup menggembirakan.

Sepintas, film LP terlihat seperti film anak-anak. Tapi di sana, disuguhkan tema-tema kemiskinan, kemelaratan, pendidikan, serta romantisme percintaan yang mengharu biru. Film yang terlebih dahulu terdongkrak oleh larisnya novel LP garapan Andrea Hirata itu, mampu menampilkan cerita tragik tentang orang-orang dari struktur masyarakat yang dikalahkan. Atau, mereka yang tidak diperhitungkan dan tidak cerah masa depannya.

Sentuhan Riri sebagai sutradara muda yang andal terbukti melalui film yang menelan ongkos 8 miliar ini. Banyak polesan elok dari aspek bahasa gambar maupun tampilan bermacam detil yang “tertulis” menjadi terucap. Idealisme Riri di film yang berdurasi 120 menit itu tampak jelas tak ingin menyajikan LP yang dalam memoar karya pegawai Telkom Bandung ini berkisah tentang kenakalan dan kejeniusan anak-anak sekolah Muhammadiyah semata. Riri sebisa mungkin memberikan solekan baru, bahkan memperkaya dengan latar sosial dan budaya.

Sutradara berambut keriwil itu sedikit menggesar fokus cerita lebih kepada perjuangan anak-anak LP menghadapi hidupnya yang tak karuan susahnya, baik secara ekonomi maupun kelas sosial di Belitong. Sebuah tanah kaya akan tambang timah, tapi penduduknya justru terjerembab dalam lingkaran kemiskinan akibat warisan kolonial Belanda. Peristiwa dan tokoh yang tak terdapat di novel bermunculan. Riri melukiskan dalam layar perak suatu adegan baru. Contoh, sebuah lemari kaca bekas yang dikirim ke sekolah untuk menaruh piala hasil lomba karnaval yang diraih berkat kepiawaian Mahar (Verrys Yamarno) dalam seni. Lemari itu tiada kancingnya, terbuka terus sehingga mengganggu Ibu Muslimah (Cut Mini). Lalu, Lintang (Ferdian) mengganjalkan kertas agar pintu tertutup. Begitu memukau polesan Riri. Sebab, ini menggambarkan adegan humor di sela-sela kemiskinan yang didera penghuni sekolah yang malamnya untuk kandang kambing ini.

Namun, tak sedikit pemirsa yang sebelumnya sudah menamatkan membaca novel, dibuat bingung sutradara. Pasalnya, ada tiga tokoh baru yang menghidupkan alur cerita film. Tokoh tambahan ada Pak Zulkarnaen (Slamet Rahardjo) yang menjadi pejabat PN Timah yang menaruh simpati keberadaan sekolah yang bermurid sepuluh orang itu. Lalu Pak Bakri (Rifnu T Winaka), seorang guru SD Muhammadiyah yang kepincut pindah ke SD lain di Bangka karena perhitungan materi tentunya. Kemudian, Pak Mahmud (Tora Sudiro), guru SD PN yang gandrung pada Ibu Muslimah.

Penonton wajar kecewa takkala menunggu cerita Tripani yang berakhir dramatis, menderita mother complex, yang malah tak dihadirkan di film. Atau kisah Mahar yang seperti dukun yang mengobati Ikal (Yulfany) yang merana akibat ditinggal cinta pertamanya, A Ling (Levina). Mungkin pertimbangan Riri lebih mengutamakan kisah yang kental nafas sosialnya. Demi terkena sasaran pada aspek kultur Melayu, tak sungkan Riri mengganti lagu Tennesee Waltz yang dinyanyikan Mahar dengan lagu Bunga Seroja. Bahkan, untuk pemain cilik LP, Riri tak mau kirim dari Jakarta, ia mencomot anak Belitong karena butuh dialek setempat dan tahu persis kehidupan sosio-kultural kota yang sempat “terbelah” ini dengan dua masyarakat yang timpang dan dibatasi papan “Dilarang Masuk buat orang jang tida punja hak”.

Budaya Popoler
Sepotong cuplikan yang paling menyayat hati penonton ketika Lintang pamitan pada teman-temannya dan Ibu Muslimah karena harus meninggalkan sekolah selamanya. Ayahnya meninggal dunia, dan dia mesti menggantikan peran ayahnya sebagai kepala rumah tangga agar dapur tetap terkepul. Di situ, Ikal mengejar Lintang dengan berurai air mata. Tapi, si jenius yang telah menyelamatkan sekolah dalam lomba cerdas cermat itu, kian jauh tak terkejar. Tak mungkin lagi ada cerita Lintang yang dihadang buaya tempo hari dan naik onthel berjarak 40 kilometer untuk sampai di sekolah. Suntikan Riri dalam adegan ini meski tidak ada dialog apa-apa hanya gambar yang sederhana, tapi bagaikan setrum sebab memberi letupan yang amat menyentuh jiwa.

Sangat tepat manakala Ibu Muslimah dalam film diposisikan lebih dominan. Apa yang dilakukan Ibu Muslimah saat mengajar penuh keikhlasan dan beliau tetap bersemangat menunaikan tugasnya sebagai guru walau gajinya harus diutang dua bulan. Ini sungguh sentilan bagi ratusan sampai ribuan guru GTT di Indonesia yang berdemo ngotot minta dijadikan sebagai pegawai negeri sipil. Ibu Muslimah sempat galau dan berhenti mengajar setelah Pak Harfan (Ikranagara) wafat. Namun, tiba-tiba Pak Zulkarnaen datang memberi pencerahan bahwa mengajar itu adalah berangkat dari rasa bukan materi seutuhnya. Akhirnya, Ibu Muslimah kembali mengayuh sepeda menemui anak didiknya seperti biasa. Sungguh gambaran yang mengharukan.

Karena itulah, mengangkat novel LP ke layar lebar dan Andrea memberikan kepercayaan itu kepada Riri dan Mira, bukanlah hal yang keliru. Pasalnya, Andrea meniupkan semangat untuk bangkit lewat novel, tersalurkan pula secara visual. Memang jauh sebelum Ayat-ayat Cinta dan LP sohor, cerita novel yang difilmkan sudah banyak. Sebut saja film Roro Mendut, Atheis, Si Doel Anak Betawi, dan Salah Asuhan. Belakangan, ada Ca Bau Kan, Eiffel I’m In Love, Jomblo, Cintapucino, dan Mereka Bilang Saya Monyet. Boleh saja dikatakan melalui sinetronisasi karya sastra (pemilik stasiun televisi) hanya mengejar pemenuhan budaya populer dan sebagai mesin kapitalisme untuk mendapatkan profit sebanyak-banyaknya.

Orientasi yang lebih mulia ialah dengan mengampanyekan lewat film akan nilai-nilai agama, secercah semangat, dan percikan-percikan inspirasi yang bertaburan di dalam buku LP, diharapkan menjadi kekuatan bagi masyarakat Indonesia yang terpuruk karena kemiskinan, merasa termarjinalkan, mereka yang keok sebelum bertarung, dan sekaligus mengkritik para pembuat kebijakan yang memandang sebelah mata pendidikan di daerah pedalaman. Dengan demikian, sepantasnya kita tak keberatan angkat topi kepada pembuat novel dan film LP. []

[Opini, Joglosemar, 27 September 2008]

0 komentar: