Rabu, 08 Oktober 2008

Idul Fitri dan Harapan Menghapus Kemiskinan

Oleh Munawir Aziz

Sekretaris Pengurus Cabang Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama Pati, Jawa Tengah

Hari Raya Idul Fitri kembali menyapa bangsa. Momentum bahagia yang paling ditunggu ini hadir dalam denyut nadi masyarakat. Setelah selama sebulan penuh berpuasa menahan lapar dan pahitnya dahaga serta godaan hawa nafsu, Idul Fitri menjadi pentahbisan atas ujian Tuhan. Idul Fitri bukanlah momen anti-klimaks untuk melepaskan nafsu setelah sebulan dikekang dan dikendalikan.

Idul Fitri merupakan puncak kemenangan rohani bagi mereka yang telah berjuang di bulan Ramadhan. Menurut Komaruddin Hidayat, Idul Fitri merupakan "hari wisuda" bagi mereka yang telah berhasil mencapai prestasi dalam mencucikan nurani dan memurnikan jiwa.

Hakikatnya, Idul Fitri merupakan momentum meraih kebahagiaan di tengah suasana kemenangan. Tetapi, di negeri ini, kemenangan dan kebahagiaan hanya mampu diraih segelintir orang. Suka cita yang membahana hanya milik pejabat, pengusaha dan orang kaya lainnya yang mempunyai simpanan harta berlimpah.

Sedangkan rakyat kecil yang terbelenggu kemiskinan merayakan Lebaran penuh tangisan. Lebaran kali ini dirasakan dengan perut lapar dan kebahagiaan semu, sebab tak ada uang untuk membeli pakaian dan makanan untuk anak-istri. Rakyat kecil ber-Lebaran dengan kebahagiaan batin yang tercabik kejamnya kemiskinan.

Hari kemenangan ini diwarnai beragam bencana kemanusiaan yang menghantui bangsa. Rakyat kecil belum menemukan ruang kebebasan sebenarnya akibat terperosok pada jurang kemiskinan yang parah.

Tragedi pembagian zakat di Pasuruan, Jawa Timur, yang mengakibatkan 21 orang tewas, merupakan pukulan telak di tengah ritual puasa dan agenda menyambut Idul Fitri. Targedi ini merupakan potret betapa kemiskinan negeri ini sangat memprihatinkan. Nyawa melayang hanya untuk mengejar uang zakat senilai Rp 20.000. Inilah tragedi yang semakin menyesakkan dada. Pemerintah, pengusaha, ulama dan organisasi keagamaan perlu merancang ulang konsep penyejahteraan umat.

Selain wajah kemiskinan, wabah kekeringan, pemarjinalan, meroketnya harga sembako dan beragam permasalahan pelik masih menghantui kehidupan kaum miskin.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di negeri ini sangat besar. Memang, jumlah warga miskin memang mengalami penurunan, dari 39,30 juta tahun 2006 menjadi 37,17 juta tahun 2007. Artinya, terjadi pengurangan 2,13 juta penduduk miskin atau 1 persen dari total penduduk Indonesia selama satu tahun. Barangkali, angka 1 persen cukup kecil. Namun, jika dilihat secara absolut, penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 2,13 juta orang dalam satu tahun adalah angka besar, bahkan fantastik. Angka ini adalah dua kali lipat jumlah pengurangan penduduk miskin 2003-2005, yang rata-rata 1,1 juta orang (BPS, 2007).

Tahun ini, jumlah warga miskin tak berkisar jauh dari data sebelumnya. Tetapi, data yang ada menjadi hal yang paradoks, kebenaran yang ada menjadi semu. Di ruang nyata, kemiskinan justru semakin meluas. Petani kecil, pedagang kaki lima di pinggiran kota, pedagang asongan, buruh swasta yang terancam pemecatan dan beragam rakyat miskin lain yang menjadi denyut ekonomi kaum bawah semakin sesak didera kemiskinan.

Badai Bencana
Lalu, bagaimana seharusnya merayakan Idul Fitri dalam konteks ke-Indonesia-an yang sedang dilanda kemelaratan ini? Di panggung kesedihan, perayaan kemenangan akan kehilangan maknanya. Dalam konteks ini, Abdul Ghani al-Nabulsi dalam Ta'thir al-Anam fi Tafsir al-Ahlam, menjelaskan, barangsiapa sedang merayakan Idul Fitri, sebenarnya ia sedang keluar dari kesedihan menuju kesenangan dan kemudahan. Dengan demikian, merayakan Idul Fitri di tengah naiknya harga kebutuhan pokok, penggusuran pemukiman, sulitnya mencari pekerjaan dan korupsi yang menggurita menjadi kehilangan esensinya.

Di negeri ini, memang upaya untuk memerangi kemiskinan sering kali terdengar. Kebijakan pemerintah untuk memerangi kemiskinan juga digelorakan di berbagai daerah. Tetapi, semuanya hanya menjadi slogan dan kampanye tanpa makna. Penguasa masih membiarkan koruptor masih merajalela, importir ilegal semakin menyeruak dan pembalakan liar semakin ramai menghabisi hutan-hutan di negeri ini. Bahkan, tak sedikit oknum yang mengambil keuntungan di balik kondisi buruk bangsa ini.

Berulangkali, pinjaman lunak diberikan untuk mengentaskan kemiskinan. Tetapi, yang menangguk untung hanyalah pengusaha besar yang mempunyai usaha menggurita. Sebaliknya, rakyat miskin dengan usaha kecil tak tersentuh. Hal ini relevan dengan yang diungkapkan William Easterly (2005), upaya mengakhiri kemiskinan lewat pemberian pinjaman adalah utopia. Masalah yang terjadi di negara-negara miskin acap kali berakar pada institusi di negara mereka sendiri di mana pasar tidak bekerja, dan politisi maupun pelayan publik tidak bertanggung jawab.

Keberhasilan pengentasan kemiskinan di Indonesia tergantung pada pemerintah sendiri. Apakah pemerintah mau bersikap jujur, berani, bersungguh-sungguh, dan disiplin? Dalam hal ini, pemerintah lamban dalam menangkap pihak yang tak bertanggung jawab dan merugikan negara. Upaya mengejar koruptor juga sulit dilaksanakan, karena terbentur sistem hukum internasional dan kesungguhan penegak hukum negeri ini.

Menjemput Esensi Kemanusiaan
Di tengah kepungan kemelaratan ini, harus ada semangat baru yang membawa pencerahan bagi semua pihak. Hakikat yang sebenarnya, Idul Fitri sebagai hari kemenangan mendesak diimplementasikan. Spirit pencerahan itu akan membawa manusia menuju kemanusiaan yang fitri. Nurani menjadi suci dari segala bentuk kemungkaran sosial dan keserakahan. Pesan kesucian ini terekam dalam Surat al-Rum (30) ayat 30 yang bermakna, "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". Spirit kesucian manusia yang tergambar dalam ayat ini menjadi pesan penting untuk merayakan Idul Fitri.

Untuk mengimplementasikan kesucian dan hakikat kemerdekaan kemanusiaan dalam Idul Fitri, ada dua pihak yang bertanggung jawab. Pertama, pemerintah sebagai pemegang amanah rakyat dan penanggung jawab penyelenggaraan negara. Pemerintah seharusnya menjadi pelindung dan pembawa kedamaian bagi rakyat. Hari Raya Idul Fitri seharusnya menjadi momentum yang tepat untuk menebar kebahagiaan kepada rakyat.

Kedua, pemuka agama harus mampu menampilkan pesan yang semestinya tentang peran agama dalam ranah sosial. Tokoh agama harus berfungsi sebagai panutan yang memberikan pencerahan kepada warga dan memberikan solusi terhadap masalah kemanusiaan yang membelenggu. Merayakan Idul Fitri akan lebih bermakna apabila diiringi solidaritas kebangsaan yang utuh. Semangat solidaritas akan memberikan energi berlipat yang membebaskan bangsa dari penderitaan.

Hal itu sesuai dengan pernyataan Prof Buya Hamka, "Distribuskan kebahagiaan itu pada mereka yang memerlukan, santunilah yang tidak mampu, tolonglah yang lemah dan bebaskan yang menderita." Tanggung jawab pemerintah, peran sosial pemuka agama dan spirit solidaritas yang utuh akan memberi makna Idul Fitri yang sebenarnya.

Selamat merayakan Idul Fitri 1429 H. Semoga bangsa ini merdeka dari belenggu krisis dan kemiskinan yang memasung kemajuan peradaban. []

[Kolom, NU Online 29 September 2008]

0 komentar: