Sabtu, 11 Oktober 2008

Mengapa (Malas) Menulis?

Oleh Siswanto

Mantan reporter SKM Amanat IAIN Walisongo Semarang

DI
samping menjadi pembaca dan mendapat inspirasi dari tulisan orang lain, sebaiknya kita juga berkontribusi memberi bacaan dan inspirasi kepada yang lain. Rasanya naif apabila kita banyak membaca namun tidak menelurkan tulisan dari otak kita.

Padahal bukan hal yang sulit jika seorang berbekal banyak bacaan untuk beranjak menjadi penulis. Namun, banyak alasan yang mencoba mengganjal penulis pemula.

Menurut hemat saya, ada empat alasan mengapa kita malas menulis yang harus segera “disingkirkan”. Pertama, kita tidak menganggap diri kita bakat menulis. Alasan ini sering terdengar bagi mereka yang sampai saat ini belum mau mencoba menulis. Padahal menulis adalah kebiasaan.

Kedua, kita (merasa) sibuk dan tidak sempat menulis. Ini lucu karena menulis tidak harus membutuhkan waktu lama. Jika ada kejadian yang kita lihat dan menarik, langsung saja corat-coret di kertas, dua menit sampai lima menit cukup untuk menggambarkan kejadian tersebut.

Atau, ketika di pikiran kita ada sesuatu, baik yang menyedihkan maupun menyenangkan dapat juga kita tulis dalam buku harian.

Ketiga, kita kurang sadar bahwa tulisan memiliki kontribusi besar terhadap masyarakat dan diri kita, yang tidak lekang waktu. Setiap tulisan yang kita hasilkan baik berupa artikel atau buku pasti mendapatkan pembacanya sendiri. Sejauh yang kita tulis adalah hal kebajikan, pasti akan membawa keberkahan bersama.

Keempat, sekaligus yang menjadi masalah krusial bagi penulis (pemula) Indonesia adalah penghargaan bagi penulis sangat minim. Alasan ini sering keluar dari penulis pemula bahkan seorang doktor.

”Menjadi penulis di Indonesia jangan berharap menjadi kaya, maka saya malas menulis,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan Badiatur Roziqin, penulis muda Semarang yang sudah menetaskan puluhan buku. ”Penulis kok susah kaya ya, beginilah nasib penulis Indonesia.”

Memang, dibanding negara tetangga, Malaysia misalnya, kita jauh berbeda tentang apresiasi terhadap penulis.

Di Malaysia, kata Badiatur, setiap ada buku baru terbit pemerintah membeli 30.000 eksemplar untuk dibagikan ke perpustakaan seluruh Malaysia.
Apabila hal ini terjadi di Indonesia, tentu sudah menyejahterakan penulis. Ini sekaligus memacu masyarakat untuk bersaing ketat mencipta karya tulis. []

0 komentar: