Kamis, 19 Maret 2009

Cinta Itu Menggerakkanku

Cerpen Zakki Amali

Menjelang
Rahmat, adikku, dikhitan, sepenggal pesan singkat datang dari Ais. “Al, bisa ngak kamu jemput aku di Kediri?.” Sebentar ku baca, terbersit pikiran itu hanya gurauan. Ku biarkan saja lewat. Ais dan aku telah bersahabat lama. Persahabatan itu terbit di saat kelas tiga Aliyah. Persahabatan itu terawat dan erat terjaga. Saling cerita dan tukar pengalaman mengiringi langkah kami. Bukan hal aneh jika ia meminta bantuanku pada sebuah masalah yang terkadang menyulitkan. Tetapi, pesan itu diulanginya sampai tiga kali dengan susunan kata yang berbeda namun intinya satu, minta tolong dijemput di Kediri. Pesan itu menohok kesadaranku akan sebuah tempat yang belum pernah ku tapaki.

Tidak berapa lama hp ku berdenting, terlihat di layar nama Ais memanggil. “Assalamual’aikum, bagaimana al, mau jemput ku di Kediri,” tanyanya sendu. “Di sana ngak ada yang ngantar to?,” jawabku mengelak halus. “Omku kakinya sakit, maunya sih dianter pake mobil, tapi gimana,” “Ya, dah nanti ku jemput,” jawabku spontan. Ku baru merasa jawaban itu penuh resiko, setelah merenung sejenak selepas sms—an. Sejujurnya keputusan itu ku ambil dengan berat hati. Ku hanya mempunyai sedikit uang untuk biaya transportasi ke sana, hanya lima puluh ribu rupiah. Ku perkirakan uang itu hanya dapat membawaku berangkat. Biaya pulangnya, entah ku tak tahu. Ku juga tak tahu kenapa kata itu meluncur tanpa ku pertimbangkan dengan matang. Ada apa ini semua! Sepertinya Tuhan telah menggariskan kata itu untuknya.

Lima hari lagi adikku dikhitan. Aku sebagai kakak lelaki satu-satunya mau tidak mau harus membantu. Ya benar, ada keluarga lain berdatangan membantu. Namun, sebagai seorang anak pertama yang telah dewasa alangkah tidak sepantasnya ku tinggalkan acara penting itu, minimal hari-hari menjelang acara. Tradisi di daerah Jawa memang seperti itu. Ketika ada gawe, anggota keluarga bahu-membahu menyukseskan acara. Bahkan keluarga yang berada di lain daerah pun datang, gotong royong. Pikiranku galau tak mampu menangkap sesuatu yang menggerakkanku. Aku tak tahu. Seperti ada yang mendorongku, kuat sekali. Jasadku kelu menolak permintaannya. Ku putuskan untuk menjemputnya.

Keberangkatan dari Kudus ke Kediri kupersiapkan matang. Alamat rumah Pak Amir Faruq di Kediri, Om Ais, ku minta sedetail mungkin kepada Ais. Mulai dari bus yang harus ku naiki dari Kudus ke Kediri, sampai bertanya ke teman-teman yang pernah berdomisili di sana. Sungguh perjalanan yang mendebarkan.

Sabtu pukul 8 pagi, empat hari sebelum adikku dikhitan, ku berangkat dari Kudus menuju Kediri. Terminal pertama yang kusinggahi adalah terminal Induk Kudus. Sesuai petunjuk aku harus naik bus jurusan Tuban Jawa Timur. Setelah itu naik bus jurusan Jombang, berhenti di terminal Jombang, dan terakhir naik bus jurusan Kediri, lalu turun di Papar Pancasila, begitu arahan yang ku terima dari Ais.

Uch… Siang itu udara terasa panas sekali, bus menitik lamat roda demi roda di jalur Pantura. Kebetulan bus yang ku naiki tidak ber-ac. Terkadang rasa muntah menyembul seketika. Guncangan bus membuat perutku mual. Ditambah dengan aroma asin laut yang menyengat. Puncaknya, ketika melewati bibir laut di daerah Rembang, isi diperutku meluncur naik. Ku tahan pelan, dan weaaakkk…, cairan mirip bubur itu tumpah ruah di dalam plastik hitam yang telah ku siapkan. Cairan itu kugeletakkan di bawah tempat duduk. ”Biasanya kernet akan membersihkan bus, termasuk cairan tadi,” pikirku.

Delapan jam ku duduk di bus. Kenyang rasanya ku duduk, terkadang tidur dan termangu, atau memerhatikan pemberhentian berikutnya dengan teliti. Panas dan pengap ku lahap, hingga sampai di Papar Pancasila, entah tepatnya kabupaten apa aku tak tahu, yang ku ingat hanya pesan Ais untuk turun di situ, lalu mencari sungai Brantas dan menyebrang.

Perjalananku akhirnya menerbitkan kelegaan. Delapan jam ku terombang ambing, di atas bus, pindah dari terminal satu ke terminal lain, cemas, was-was mengiringi di sana. Apakah ku dapat sampai di sana? Janji tlah ku lafalkan dan Ais pasti menunggu. Yang paling ku khawatirkan adalah keluarga di rumah. Bapak yang menata rumah sendirian siang malam. Karena hanya beliau yang paham penempatan kain yang berserakan dan yang berada dikarung. Pekerjaan keluargaku adalah konveksi. Wajar bila banyak kain, benang, mesin jahir, bordir, berada di dalam rumahku. Sementara Ibu usianya telah lanjut, tidak mampu mengangkat sesuatu yang berar. Hatiku berkecamuk membayangkannya. Ada tarikan untuk kembali dan meneruskan langkahku ke Kediri. Ketika ku ingat orang tua, ingin segera kembali, membantunya dan memersiapkan acara itu. Tetapi aku selalu tak berdaya untuk membalikkan langkahku. Seperti boneka. Itulah yang kurasakan. Ku merasa bersalah pada mereka semua. Dengan berat hati ku tetap melaju menjemputnya. Mungkin ku berdoa saja agar mereka dimudahkan Allah dalam semua urusan dan mengampuni dosa-dosanya. Semoga doaku itu menjadi penebus kesalahanku itu. Amin.

Pukul empat sore ku sampai di rumah Pak Amir. Lengkap dengan Ais dan adik sepupunya, Diana, menjemputku di pinggir sungai. Terpancar kekagetan dari wajah Ais, melihat ku datang. Ku terka, ia hendak berkata tak percaya melihatku sampai di Kediri. Agak malu ia menyambutku. Kita berjalan beriringan sembari bercakap dan berkenalan dengan sepupunya. Rumah Pak Amir ternyata tak jauh dari sungai, sekitar 100 M.

Tak percaya! Kata itu membaur di setiap gerakku di rumah Pak Amir. Dan memang tak hanya aku yang merasa begitu. Fraira, teman sekelasku ketika Aliyah pun demikian. Ia mengirim sms kepadaku dan Ais. Fraira terperangah mengetahui keberadaanku di Kediri. Tak hanya itu, aku yang telah mejemput seorang teman sampai di Kediri, tak pernah dipercayai teman-temanku. Sungguh tak pernah percaya. Fraira dan teman-temanku hanya percaya, bahwa Ais adalah pacarku. Ia menilai ku susah payah ke Kediri menjemput seorang kekasih, bukan teman.

***
Senin Pagi, setelah dua hari di sana, ku dan Ais beranjak pulang. Percakapan semalam dengan Pak Amir, benar-benar membuatku gelisah. Ia mencecarku dengan pertanyaan tajam dan mendalam, layaknya seorang tersangka. “Awakmu ke sini ada keperluan apa,” tanya Pak Amir terasa menguji. Ku kira hanya basa-basi, “Bade silaturrahim,” jawabku. Ternyata ia tidak menyukai sikapku yang berbasa-basi ala orang Jawa. “Ogak salah mas, jujur saja awakmu ke sini karena Ais kan?” Pertanyaan itu membangunkan kesadaranku dan merenungi apa tujuanku ke sini. Pertanyaan itu bak sebuah hakikat. Menyikap makna dibalik realitas. Pertanyaan itu tak pernah ku duga meluncur di hadapanku dan Ais. Yang ku rasakan, hanya berazam menjemput Ais, tidak berlebih dan kurang. Tapi kenapa Pak Amir berkata demikian.

Hingga Sulton, temanku yang akrab dengan dunia mistis menjelaskannya. Dia seorang yang sangat ku percaya. Solusi yang diberikannya selalu membuatku lega. Dunia pesantren telah menjadikannya mengetahui banyak hal tentang hal tentang dunia sufi. ”Aku yakin kamu sebenarnya cinta sama Ais, tetapi kamu mengabaikan rasa itu. Kamu suka tetapi tidak sadar. Seseorang pasti akan menuju sekuat tenaga sesuatu yang dicintainya.”

Pak Amir dan Sulton seakan berkata bahwa aku mencintai Ais. Tapi, aku mengelak. Ia hanya teman. Belum saatnya memandang ia sebagai pendamping hidup . Mimpi-mimpiku belum terkejar. Entah kenapa hatiku merasa itu benar. Ku belum ingin melihat rona merah cinta Ais. Tapi rasa itu kian kuat. Apakah itu yang menggerakkanku sampai di Kediri. Semakin ku mejauhinya, ia semakin kuat menguasai hatiku, menggerakkanku. Aku tak tahu. Apa ini Tuhan!

Kudus, 27 Oktober 2008

[diunduh dari http://sastraparadigma.blogspot.com]

0 komentar: