Senin, 30 Maret 2009

Jangan Kau Gadaikan Pulauku

Oleh Muh Khamdan
Peneliti Paradigma Institute

BUPATI Jepara bersama jajaran telah mengusulkan upaya pencabutan status Taman Nasional atas Kepulauan Karimunjawa langsung di hadapan Gubernur Jateng, Bibit Waluyo (17/3). Sebagaimana dikemukakan Doddy Imron Cholid, ketua BPN Jateng, langkah tersebut dilakukan agar gugusan pulau yang berada di Laut Jawa tersebut mengundang investor.

Ini mengingatkan kita pada promosi penjualan pulau-pulau Karimunjawa sekitar 2004 lewat internet (Suara Pembaruan, 28/3/06). Pada saat itu, para pejabat Pemda Jepara membantah.

Namun di lapangan, sebuah perusahaan properti asing, VA Real Estate telah menguasai tujuh dari 27 pulau. Alih-alih pembelaan, perusahaan properti asing itu dianggap menyelamatkan dari kemubaziran pulau tak bertuan.

Sekitar lima tahun kasus tersebut tiada kunjung kabar. Tiba-tiba saja itu dimunculkan kembali dengan kenyataan sudah banyak penguasaan masyarakat atas pulau-pulau yang semula masih perawan, baik sebagai tempat domisili maupun kerja.

Kejadian ini bisa jadi adalah upaya sistematis untuk mengesahkan perusahaan-perusahaan properti dalam melakukan ekspansi wilayah kepulauan secara legal dengan dalih menyejahterakan masyarakat.

Persoalan kesejahteraan bukan semena-mena mesti mencabut status Taman Nasional. Mengacu pada Keppres 32/1990, wilayah kepulauan Karimunjawa dibedakan menjadi beberapa zona, yakni zona inti, perlindungan, pemanfaatan pariwisata, permukiman, rehabilitasi, budi daya, dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Dari pembagian zona tersebut maka akan didapatkan arah pengembangan wilayah yang jelas.

Keseluruhan pulau yang ada memiliki tipe ekosistem beragam, yaitu hutan hujan, dataran rendah, padang lamun, algae, hutan pantai, hutan mangrove, dan terumbu karang.

Dari 27 pulau, hanya lima yang memiliki keberagaman ekosistem kompleks, sedangkan yang 22 tak berpenghuni dan hanya ditumbuhi aneka tanaman serta karang. Dari sinilah kemudian diterbitkan SK Menhut Nomor 74/KPTS/III/2001 tertanggal 15 Pebruari 2001, bahwa ke-22 pulau tersebut berstatus Taman Nasional.

Dalam upaya membenahi peningkatan kesejahteraan masyarakat Karimunjawa, Pemda Jepara berpikir secara pragmatis dalam masalah yang tidak mendasar. Jika pencabutan status Taman Nasional berhasil, jangan heran jika akan terjadi ketimpangan sosial. Pertama, sebagai pulau yang dibeli atau disewa oleh perusahaan dan perseorangan, ditetapkanlah biaya bersandar bagi perahu-perahu nelayan setempat.

Lalu muncullah sentimen bahwa penduduk asli tidak memiliki hak atas pulau yang disewa itu. Kasus hak cipta ukir oleh oknum warga asing,
Christopher Harrison melalui perusahaannya Harrison & Gil sebagai kelalaian seluruh komponen masyarakat Jepara (2006), setidaknya dapat menjadi pelajaran.

Kelalaian atas ukir tersebut agar tidak melupakan tugas kita untuk menjaga kelestarian ekosistem Karimunjawa yang memiliki tanaman khas berupa dewodaru (Crystocalyx macrophyla) serta dengan kekayaan jenis terumbu karang mencapai 51 genus disertai 242 jenis ikan hias dan 40 jenis burung (Dephut online).

Kesejahteraan masyarakat Karimunjawa memang harus dibenahi supaya tidak dianggap sebagai penduduk yang diduakan. Pariwisata sebagai pintu gerbang perekonomian Karimunjawa harus ditangani dengan serius dan mendasar, tidak saja oleh Pemda tetapi juga masyarakat setempat.

Paling tidak masyarakat dan Pemda harus memikirkan bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan atau sentra ekonomi di kawasan tersebut. Persoalan besar yang dihadapi masyarakat nelayan Karimunjawa atas hal itu adalah ketersediaan terminal bahan bakar solar serta pabrik es. Dengan dua komponen ini, para nelayan dapat bekerja dan menyimpan hasil tangkapan dengan baik.
Istimewa

Jepara memang kota yang dianugerahi banyak keistimewaan dibanding kota lainnya di jalur Pantura. Bentangan pesisir yang berupa pantai sepanjang 72 kilometer merupakan kekayaan yang mesti dibenahi pengelolaannya. Ini karena dalam Visit Jepara 2008 kemarin, program tersebut tidak mampu memberikan hasil yang optimal bagi dunia pariwisata Jepara.

Maklum, pelaksanaan terkesan tanpa persiapan matang dan masih diperparah dengan ’’kemandulan’’ spirit kreativitas, baik tampilan kegiatan maupun esensi muatannya.

Sekadar membuka ingatan, konsep kegiatan pariwisata yang digelar Pemda Jepara pada 15 September sampai 31 Oktober tahun kemarin, hanyalah momen-momen yang telah menjadi rutinitas.

Coba saja lihat Pesta Lomban, wisata bahari, pekan syawalan, prosesi pelarungan kerbau, festival kupat lepet, gebyar kain Troso, dan pameran pembangunan, semua terasa garing dari kreativitas.

Sebagaimana pendapat Heindrich Gossen yang menyebutkan bahwa jika pemuas terhadap suatu benda berlangsung terus menerus, maka kenikmatan akan mencapai titik nol atau ketidaksukaan. Dan inilah yang terjadi dengan masyarakat Jepara dalam menghadapi kemandegan pariwisata daerah.

Penataan wisata pesisir Jepara dapat dilakukan dengan mengintegralkan antara pasar pameran kerajinan tangan masyarakat di tengah lokasi wisata.

Selama ini, barang-barang kerajinan yang dijajakan di Pantai Kartini atau Gelanggang Tirta Samudra adalah hasil kerajinan dari bahan baku kerang, karang, ikan hias, kura-kura, dan aneka tongkat kayu yang didatangkan dari Karimunjawa. Mestinya, disepanjang jalan pantai dibuatlah pasar kesenian rakyat berupa miniatur kayu berukir, monel, sampai kain tenun.

Wisata pesisir yang digabungkan dengan konsep wisata bahari dapat diterapkan guna menambah variasi kegiatan wisata. Langkah tersebut semisal dengan pembuatan trayek perahu wisata antara Pulau Panjang dan Pantai Kartini. Desain ulang arena permainan anak dan wahan santai juga menjadi salah satu prasyarat pengunjung selalu rindu.

Pada dasarnya, kebaharian merupakan sejarah tersendiri bagi Jepara karena pernah menjadi pelabuhan ternama era Kerajaan Demak. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi kita menyerahkan wilayah kepada asing walau hanya satu pulau. (35)

Sumber: Suara Merdeka, 30 Maret 2009

0 komentar: