Rabu, 15 April 2009

"Aku Mau" Kartini Saja

Oleh Eros Rosidi

Berbicara
tentang feminisme atau perjuangan kesetaraan gender di Indonesia, kita tidak akan bisa lepas dari sosok fenomenal dan sangat menarik: RA Kartini. Bukan lantaran setiap tanggal 21 April ada peringatan Hari Kartini, melainkan karena pemikirannya yang jauh melampaui batas-batas teritorial dan sudah sangat modern untuk ukuran zamannya.

RADEN Ajeng (RA) Kartini, meski seorang bangsawan, tidak mengenyam pendidikan yang tinggi. Dia hanya sekolah di ELS (Europese Lagere Schools) di Jepara, dan sudah meninggalkan bangku sekolah ketika berumur 12 tahun.
Vissia Ita Yulianto (2004) mencatat, Kartini adalah salah satu bukti sejarah yang menunjukkannya sebagai manusia kritis dan pribadi yang peka terhadap kondisi sosial waktu itu.

Sementara Goenawan Mohamad (2004) menulis, Kartini adalah epik dan tragis sekaligus. Dalam berbagai segi, Kartini adalah perempuan rupawan, cerdas, perspektif, pemberontak, sekaligus anak bupati Jawa, penuh cita-cita pengabdian, tapi juga lemah hati.

Terlepas dari berbagai penilaian yang muncul, Kartini tetaplah seorang tokoh yang sangat brillian: perempuan yang mula-mula mengembuskan perjuangan feminisme di Indonesia.

Dalam bahasa sederhana, Goenawan Mohamad mengatakan, ’’Bukan karena gagasan feminisme maka Kartini ada, tetapi karena Kartini ada, maka ia seorang feminis’’.

Dengan keterbatasannya, pemikiran-pemikiran Kartini tentang feminisme dan perjuangannya agar perempuan Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya mendapatkan pendidikan layak, merupakan hal terbesar yang tak boleh dilupakan bangsa ini.

Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati perjuangan para pahlawannya?

’’Aku Mau’’
Lalu, spirit apakah yang menggerakkan Kartini dalam berjuang? Nukilan surat yang dikirimnya kepada Stella Zeehandelaar, sahabat penanya di Eropa, pada 13 Januari 1900 barangkali bisa menjadi cermin bagi kita tentang motto hidup yang menjadi spirit Kartini dan menggerakkannya dalam berpikir dan berjuang.

’’Kamu mau tahu motto hidupku? ’Aku mau!’ Dan dua kata sederhana ini telah membawaku melewati gemunung kesulitan.

Aku tidak mampu menyerah. ’Aku mau’ mendaki gunung itu. Aku tipe orang yang penuh harapan, penuh semangat. Stella, jagailah selalu api itu! Jangan biarkan dia padam. Buatlah aku selalu bergelora, biarkan aku bersinar, kumohon. Jangan biarkan aku terlepas’’.

Kartini meninggal dunia dengan mimpi-mimpinya tentang perubahan paradigma masyarakat. Ia ingin melihat kaum dan bangsanya maju.

Para feminis modern di Tanah Air memiliki tanggung jawab besar untuk meneruskan cita-citanya tersebut.

Para aktivis feminisme di Indonesia saat ini memang telah melakukan upaya-upaya yang signifikan bagi terwujudnya kesetaraan harkat dan martabat perempuan.

Antara lain ditandai dengan lahirnya UU Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dan yang saat ini lagi gencar dan menjadi pembicaraan hangat adalah pelarangan nikah siri.

Pendidikan
Namun, hal lain yang tidak boleh dilupakan untuk selalu diperjuangkan adalah masalah pendidikan. Pendidikan, terutama bagi perempuan, adalah salah satu hal yang menjadi perhatian Kartini. Menurut dia, perempuan yang kelak pasti menjadi ibu, mempunyai tanggung jawab besar dalam mendidik anak-anaknya. Ibu sebagai orang yang paling dekat dengan anak memiliki kesempatan dan peran paling besar untuk ini.

Bisa dipahami, sesungguhnya kesetaraan yang didengungkan Kartini bukanlah agar perempuan bersaing dengan laki-laki, tetapi agar saling mengisi dan saling berbagi.
Isyarat ini bisa ditangkap dari fakta bahwa perempuanlah yang pertama kali mendidik anak-anaknya.

Ini berarti tanggung jawab kaum hawa dalam mengurus rumah tangga tidak harus dilupakan, meski ia seorang feminis.

Menjadi seorang feminis adalah hal luar biasa yang harus dihargai. Tetapi hal itu selayaknya tidak menjadikan anak-anaknya telantar dan kurang mendapatkan kasih sayang.

Untuk itu, pengetahuan dan pemahaman terhadap feminisme juga tak boleh dipahami setengah-setengah. Feminis bukan perempuan yang hanya ingin sama dengan laki-laki, melainkan orang yang menjadi motor kesetaraan tanpa meninggalkan kewajiban-kewajiban dalam keluarga dan masyarakat.

Semangat ’’aku mau’’ yang merupakan motto hidup Kartini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, untuk menjadi seorang feminis di abad modern dengan baik dan benar. Bukan yang sok feminis. (32)

Sumber: Suara Merdeka, 15 April 2009

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Hello!

Nggak terasa udah mau Hari Kartini lagi ya?

Ini ada artikel tentang Kartini juga, "Hari Kartini, Pahlawan Pendidikan" di cantik40s.blogspot.com.

:)

Thanks,
AFM

smart institute jepara mengatakan...

@amir: makasih...