Jumat, 17 April 2009

Menata Lagi Bahari Jepara

Oleh Muh Khamdan
peneliti Paradigma Institute

JEPARA adalah kota kecil di wilayah pantai utara (pantura). Lahir berdasarkan tanggal pelantikan Ratu Retna Kencana yang bergelar Nimas Ratu Kalinyamat, 10 April 1549. Penetapan hari tersebut dikukuhkan melalui Peraturan Daerah Tingkat II Jepara Nomor 6 Tahun 1988.

Heroisme sang Ratu dalam usaha melawan campur tangan asing kiranya menjadi rujukan pemilihan hari ulang tahun untuk mengonstruksi sejarah perjuangan.

Sejarah tentang Ratu Kalinyamat mengalir deras dalam cerita masyarakat Jepara. Sekian lama beliau dikisahkan bahkan selalu disendratarikan dalam peringatan hari jadi Jepara di pendapa kabupaten.

Bahkan, sejarah patriotismenya dalam pengiriman armada laut membantu Raja Alaudin (1551) dan Sultan Mansyur Syah (1574) mengusir Portugis dari Malaka, mendorong Pemerintah Daerah (Pemda) Jepara mengusulkan adanya gelar pahlawan.

Sebagaimana negara-negara maju, sejarah masa lalu adalah legitimasi klaim kemajuan peradabannya. Untuk itulah orang Yunani memiliki prinsip ”Historia Vitae Magistra” yang bermakna bahwa sejarah adalah guru kehidupan, seperti ditulis Heni Purwono ”Menyelematkan Kesempurnaan Sejarah Kita” (6/4). Bila Jepara sudah mengetahui sejarahnya sendiri, ini adalah pelajaran yang baik bagi perkembangan daerah dan pembangunan kultur budaya masyarakat.

Seperti kisah perlawanan Ratu Kalinyamat terhadap Portugis sampai mendapatkan gelar Senora de Rica dengan 300 kapal perang yang dikirim ke Malaka, menunjukkan bahwa Jepara adalah pelabuhan besar di Jawa masa kepemimpinan istri Sultan Hadirin tersebut.

Sultan Hadirin sendiri adalah salah satu keturunan dari kerajaan Aceh yang pernah migrasi ke China dan bersahabat dengan pemahat China bernama Ci Wi Gwan atau dikenal dengan Patih Badar Duwung. Dari sinilah muncul identitas lokal bagi Jepara berupa ukiran dan kelautan.

Selain ukiran yang telah melalangbuana di dunia, Jepara tergolong kota bahari dengan adanya deretan pantai pesisir sepanjang 72 kilometer, terhampar pasir putih yang menawan seperti di Kuta Bali. Tidak kurang 27 pulau sebagai gugusan kepulauan karimunjawa terdapat koloni-koloni terumbu karang, beragam spesies ikan tropis, serta tanaman mangrove.

Heroisme
Kisah heroisme Ratu Kalinyamat perlu digali dan disosialisasikan. Fakta bahwa Jepara adalah kota yang memiliki laut, tak ada yang memungkiri. Namun, keberadaan pelabuhan yang sempat mengirimkan armada laut yang tangguh dan bervisi strategik mesti dipertanyakan.

Jika penyematan nama maritim atau bahari hanya berdasarkan ada tidaknya laut, ini bukanlah visi pengembangan daerah yang baik. Hilangnya pamor pelabuhan Jepara yang sudah terjadi dapat dimungkinkan terjadi pada ukiran juga, jika tidak siap mengantisipasinya.

Bagi Pemda Jepara, terdapat kemungkinan yang bisa dilakukan untuk menunjukkan kembali pelabuhan laut yang pernah jaya pada masa silam.

Pertama, penyediaan kapal yang melayani penyeberangan daratan Jepara dengan kepulauan Karimunjawa secara lebih cepat dan murah. Selama ini, untuk mencapai Karimunjawa masyarakat hanya diberikan dua jadwal saja sehingga belum optimal mendukung pariwisata Karimunjawa.

Kedua, penyediaan perahu-perahu wisata guna memberikan pelayanan masyarakat untuk berkeliling di laut atau menyusuri pesisir Jeoara. Dalam hal ini, perlu dibuatkan regulasi khusus tentang perahu wisata sebagaimana meniru di Kabupaten Kudus dengan beroperasinya becak dan andong wisata religi Makam Sunan Kudus. Ketiga, format pelabuhan transit kebutuhan masyarakat guna mengurangi beban kemacetan jalan raya.

Tentu saja skenario di atas membutuhkan dana besar, maka kemungkinan yang paling dapat direalisasikan adalah penyediaan perahu-perahu wisata yang terorganisasi dengan baik.

Selain membuka lapangan kerja baru, hal yang sangat penting adalah berkembangnya wisata bahari sebagai upaya optimalisasi pantai-pantai di Jepara yang belum terurus, seperti Pantai Bondo dan Pantai Teluk Awur.

Hal ini tidak perlu membutuhkan banyak modal karena dalam wisata bahari daya tarik bagi wisatawan adalah pesona alam yang masih alami.

Rangkaian penataan wisata bahari tersebut dapat terhambat mengingat wacana polemik yang tiba-tiba mengemuka beriringan dengan hari jadi Jepara ke-460.

Upaya menghadirkan Badan Atom Dunia atau International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk melegitimasi keabsahan pembangunan PLTN melalui penelitian, secara sporadis akan menghadirkan konflik di masyarakat. Mengingat ulama Nahdlatul Ulama (NU) Jepara telah merumuskan keharamannya lewat Bahtsul Masa’il pada 1-2 September 2007.

Benar pemerintah daerah telah memberikan perhatian pada objek wisata kelautan, namun itu belum menunjukkan keterpaduan. Apalagi kalau proses pengelolaan hanya ditujukan pada Pantai Kartini dan Tirta Samudra Bandengan. Masyarakat memerlukan perluasan objek pantai, sebuah pilihan yang mampu mengurangi potensi penghilangan pasir putih secara ilegal.

Sekaranglah pada usia yang semakin dewasa, menjadi momentum yang relevan bagi pemda untuk lebih memikirkan pengembangan wisata bahari yang telah menjadi kebanggaan sejak Ratu Kalinyamat berkuasa sampai sekarang, daripada mengambil kebijakan tidak populis apalagi menciderai ekosistem dan demokrasi berupa pembangunan PLTN. (35)

Sumber : Suara Merdeka, 17 April 2009

0 komentar: