Senin, 27 April 2009

Pelajaran dari Kura-kura Jepara

Oleh Muh Khamdan
peneliti di Paradigma Institute dan mantan Ketua IPNU Nalumsari Jepara


SEKITAR 3000-an orang memenuhi pelataran patung kura-kura raksasa yang berada di Pantai Kartini. Mereka berkumpul untuk acara berdoa bersama yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Anshor NU Jepara dan Majlis Zikir Wa Syifa (SM, 23/4).

Acara yang didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jepara, secara tersirat merupakan respons kekhawatiran atas ramalan Mama Lauren yang menjadi ‘’buah bibir’’ masyarakat. Kendati berdalih tasyakuran atas pemilu, momentum dan tempat pelaksanaan jelas mempertontonkan kalangan agamawan Jepara terbawa persepsi bencana tsunami.

Tsunami memang sebuah bencana yang telah merusak wilayah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara dengan wilayah patahan gempa sekitar 600 km (26/12/04).

Tsunami juga telah menerjang wilayah Pangandaran yang didukung adanya gempa berskala 6,8 Skala Richter yang dirasakan sampai Jakarta, serta melanda pesisir pantai selatan Jawa, seperti Ciamis, Kebumen, Bantul, dan Ponorogo (Walhi, 18/7/06). Tak heran banyak masyarakat pesisir lain merasa ketakutan dengan isu tsunami, termasuk Jepara.


Berdasarkan katalog gempa (1629-2002) di Indonesia pernah terjadi tsunami sebanyak 109 kali, yakni satu kali akibat longsoran (landslide), sembilan kali akibat gunung berapi dan 98 kali akibat gempa tektonik. Khusus di wilayah Jepara, setidaknya kestabilan dari gempa telah menjadi alasan kuat akan dibangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

Hal ini karena letaknya jauh dari zona subduksi lempeng Sunda dan Australia di lepas pantai selatan Jawa. Belum lagi adan massa Pegunungan Kendeng di sisi Selatan dan massa batuan granit yang melandasi Kepulauan Karimunjawa di utara. Keduanya dikenal massif meredam pengaruh getaran gempa (Migas Indonesia online).

Seberapa tingkat kebenaran ramalan dan kajian geologi tersebut, masyarakat mesti diberi pemahaman. Kenyataannya isu tsunami telah menjadi dasar kegiatan organisasi keagamaan seperti GP Anshor dan MUI, yang pada akhirnya justru melegitimasi ramalan Mama Lauren. Sebab, tidak ada relevansi antara doa bersama dengan bertempat di bawah patung kura-kura raksasa.

Sekadar membuka memori masa lalu, pada pertengahan 2002 bersamaan dengan dimulai proyek pembangunan patung kura-kura raksasa oleh Pemda Jepara, muncul isu selendang penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul hilang.

Masyarakat memanipulasi ketakutan dengan menghias depan rumah melalui pemasangan air berwarna-warni yang dibungkus plastik. Hampir sebulan langkah tersebut dilakukan dengan keyakinan dan harapan sang Ratu tidak marah.

Jika dicermati, terdapat hubungan keyakinan mistik masyarakat dengan proses pendampingan dan pemberdayaan masyarakat yang diperankan oleh kalangan akademis dan agamawan.

Auguste Comte melalui Cours de Philosophi Positive menjelaskan, perkembangan nalar manusia melalui tiga tahap, yaitu teologis, metafisik, dan positif. Dinamika perkembangan pemikiran ini tergantung intensitas manusia berinteraksi satu sama lain (DW Hamlyn, 1990). Dan kalangan akademis serta agamawan menjadi bagian di dalamnya.

Pada tahap teologis manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.

Kesadaran demikian menimbulkan pemikiran tentang animisme (benda berjiwa), politeisme (kekuatan dewa-dewa sebagai penggerak), dan monoteisme (keesaan pengatur).

Tahap metafisika merupakan keberlanjutan dari tahap teologis yang mengganti kekuatan-kekuatan secara abstrak berupa perpaduan serta kesatuan benda-benda saling terkait yang disebut alam. Jadi, kekuatan benda dapat terjadi jika di dukung keberadaan benda lain.

Pada tahap positif manusia tidak lagi memedulikan kekuatan di balik benda, melainkan mencari hukum-hukum benda berdasarkan fakta-fakta yang tersaji, yaitu melalui pengamatan dan kebenaran akal. Dengan demikian, positivisme membatasi pemikiran pada hal-hal yang bias dilihat, diukur, dianalisa, dan bisa dibuktikan kebenarannya.

Menurut Immanuel Kant, sebagai usaha pemerolehan pengetahuan yang bersifat positif, manusia mesti mengumpulkan pengalaman inderawi dan teknik pengolahan sebab dan akibat (G Nuchelmans, 1984).

Maka, ketika muncul isu akan terjadi tsunami di Jepara, masyarakat mesti mengetahui sebab dan akibat terjadinya tsunami, bukan sekadar menerima.

Berpijak di atas data dan fakta itu, kita berharap isu tsunami justru menjadikan pemerintah lebih proaktif mengenalkan ilmu-ilmu terapan yang bersumber dari kelautan.

Selama ini masyarakat hanya disuguhi objek wisata pantai sebagai tempat hiburan, belum menyentuh pada aspek pengembangan teknologi kebaharian.

Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, Gellwyn Yusuf, mengakui, riset energi dan pemberdayaan bahan pangan dari sektor kelautan masih minim (Kompas, 13/4).

Kenyataan ini dapat dimanfaatkan Pemda Jepara sebagai peluang pengembangan daerah setelah mebel ukir terpuruk. Apalagi isu terjadi tsunami di Jepara bersamaan dengan akan diselenggarakan Konferensi Kelautan Dunia pertama di Manado, Sulawei Utara (11-15/5).

Biarlah isu tsunami menjadi pelajaran bagi semua elemen masyarakat Jepara untuk tidak terlalu gampang percaya terhadap ramalan, tetapi memunculkan semangat kekritisan untuk menyelidiki hubungan sebab akibat gejala alam itu terjadi. Secara geologi, Jepara memang dinyatakan bebas dari getaran gempa, tetapi tidak lantas menawarkan diri sebagai tempat pembangunan PLTN.

Terlebih di dalam Konferensi Kelautan mendatang, wacana pemanfaatan energi dari kandungan air laut, perbedaan suhu, dan salinitas serta energi gelombang dan arus akan menjadi bahasan utama. Ini tinggal menunggu kearifan semua pihak. (35)

Sumber: Suara Merdeka, 27 April 2009

2 komentar:

pramana putra mengatakan...

brita itu memang mggmprkan msyarkt jepara...nice blog !!

smart institute jepara mengatakan...

sebenarnya penguasa dunia setelah Tuhan itu media... begitu kata seseorang kepada saya...