Kamis, 06 Januari 2011

Korban Tiwul dalam Ketahanan Pangan

Suara Merdeka, 06 Januari 2011

Provinsi Jawa Tengah, termasuk daerah yang memiliki ketahanan pangan cukup baik. Dalam pemetaan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, Jepara termasuk daerah yang diberi label warna hijau tua. Artinya, ketahanan pangannya cukup mantap. Tetapi, apa yang terjadi beberapa waktu lalu, di Jepara jatuh 6 korban jiwa sebagai akibat mengonsumsi tiwul. Apa yang terjadi ini sungguh aneh, bahkan mungkin di luar dugaan. Di zaman seperti ini ada yang mengonsumsi tiwul.

Tentu saja peristiwa tersebut mengundang pertanyaan serius, kenapa keluarga Jamhamid mengonsumsi makanan yang terbuat dari singkong tersebut. Apakah itu dilakukan sekedar ”klangenan” karena lama tidak mengkonsumsinya ? Atau terpaksa makan karena tidak memiliki bahan pangan lainnya ? Tampaknya lebih karena tidak memiliki makanan lain, sehingga dengan terpaksa mengonsumsi tiwul. Fakta ini terasa paling kuat.

Dari fakta terungkap bahwa keluarga Jamhamid tergolong tidak mampu, sehingga setiap hari hampir pasti mengonsumsi tiwul. Apalagi di tengah kenaikan harga bahan pangan yang cukup tinggi, tentu keluarga itu tidak mampu menjangkaunya. Jika pun beras tak mampu, apalagi bahan pangan lainnya hampir pasti tidak terbeli dengan baik. Apakah keluarga ini juga tidak terjangkau program beras miskin (raskin) ini juga pertanyaan yang lain.

Kita juga meyakini bahwa masih banyak dari keluarga di daerah ini yang mengonsumsi tiwul. Ada dua cara untuk melihat peristiwa tersebut, yakni pertama bahan pangan tiwul pernah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa, terutama di pedesaan. Hingga kini, tiwul kadangkala masih disikapi sebagai salah satu bentuk variasi bahan pangan. Jika proses pembuatan bersih, bahan pangan itu cukup higienis dan mengeyangkan.

Tetapi, jika tiwul dikonsumsi secara terpaksa lebih karena tidak memiliki pilihan lain, maka pemerintah harus menjadi peristiwa itu dicatat dengan tinta merah. Tanpa mengurangi rasa hormat bahwa pemerintah telah memberikan perhatian serius terhadap ketahanan pangan, tetapi fakta itu tidak bisa diabaikan. Di atas kertas benar sekali, daerah ini memiliki ketahanan pangan yang bagus. Tetapi, apakah pangan itu benar bisa terbeli oleh masyarakat.

Berkaca dari peristiwa tersebut, pemerintah di berbagai tingkatan, terutama kabupaten/kota harus meneliti kembali tentang angka-angka ketahanan pangan, kemiskinan, daya beli, dan sebagainya. Para kepala daerah perlu lebih jernih dan terbuka dalam melihat kemiskinan di daerahnya. Data angka kemiskinan jangan disulap menjadi lebih bagus supaya citra meningkat. Sebaliknya, data harus disajikan apa adanya agar solusinya juga tepat dan akurat.

0 komentar: